Dosen Penasehat Akademik: Bagaimana Seharusnya Berperan?
Penulis : Wira Utami Putri.RM
Keberhasilan mahasiswa dalam perjalanannya di perguruan tinggi adalah sebuah prestasi yang sangat diinginkan oleh semua pihak, tidak hanya oleh mahasiswa itu sendiri tetapi juga oleh orang tua, dosen, dan institusi pendidikan tinggi tempat mahasiswa tersebut menempuh perkuliahan. Keberhasilan mahasiswa dalam perkuliahan tidak hanya dapat diukur dari sempurnanya Indeks Predikat Komulatif (IPK) setiap semesternya atau lulus di waktu yang tepat saja, tetapi terdapat unsur-unsur lain yang dapat menentukan.
Setiap mahasiswa pada dasarnya memiliki masalah akademik, namun yang membedakan adalah tingkatannya serta bagaimana cara mahasiswa tersebut menanggapi dan menyelesaikannya. Dalam situasi tertentu, mahasiswa memerlukan bantuan orang lain, baik dari teman maupun dosen, untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi terdapat tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada dosen untuk secara khusus membimbing mahasiswa yang dikenal dengan sebutan Penasehat Akademik (PA).
PA merupakan dosen yang ditunjuk untuk membimbing sekelompok mahasiswa dengan tujuan membantu mereka menyelesaikan studi secara cepat dan efisien, disesuaikan dengan kondisi serta potensi masing-masing mahasiswa. Memiliki peran sebagai “Orang tua” di kampus, seharusnya ada ikatan emosional yang kuat selayaknya seorang anak yang selalu mengadu ke ibunya. Tetapi, apakah hal tersebut sudah terlaksana sebagaimana mestinya? Mari kita menyelami fenomena yang unik ini.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan salah seorang mahasiswa dari kampus peradaban yang nama dan inisialnya pun tidak ingin dicantumkan mengatakan bahwa “kan kalau dosen PA itu toh kaya dia tau kita karena kaya dia orang tuata di kampus, tempat konsultasi kalau ada masalah, tapi nda terlalu sering ketemu paling toh kalau mau ketemu itu inipi mau setoran hafalan itupun toh kalau setor hafalan tidak ketemu langsung, onlineji setorannya, terus untuk dukungan sendiri sampai saat ini tidak ada karena mungkin tidak nakenalika”. Orang tua seperti apa yang bahkan tidak mengenali “anaknya” sendiri.
Dia juga menambahkan bahwa “karena saya memang tidak terlalu dekat dengan PA-ku jadi tidak ada motivasi belajar sama sekali yang diberikan, motivasinya cuman setor hafalan saja sudah”. Jangankan motivasi belajar, mengenali wajah “anaknya” saja tidak, lucu sekali bukan orang tua seperti ini. Mereka hanya menuntaskan kewajibannya sebagai “tempat” untuk menyetor hafalan yang kita tahu bersama bahwa hal tersebut merupakan syarat pengisian Kartu Rencana Studi (KRS). Padahal seperti yang diketahui dukungan, nasehat, bahkan curhatan-curhatan mengenai masalah pribadi sangat dibutuhkan oleh mahasiswa, terkhusus bagi mereka yang harus selalu menjaga kesehatan mentalnya dari tuntutan tugas akhir.
Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan mental merupakan kondisi dimana seseorang merasa sejahtera, mampu mengenali dan memanfaatkan kemampuan dirinya, dapat mengelola stress dengan baik, bisa beradaptasi secara efektif, bekerja dengan produktif, serta memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Kesehatan mental menjadi aspek penting bagi individu karena dapat memengaruhi pandangan mereka terhadap diri sendiri, lingkungan, dan cara mereka memahami duniia di sekelilingnya.
Kesehatan mental juga sangat perlu dijaga layaknya menjaga kesehatan fisik kita. Siapapun bisa mengalami hal tersebut, tidak melihat usia, status pekerjaan, ataupun status ekonomi seseorang. Gangguan mental sangat sulit terlihat, berbeda halnya dengan gangguan fisik yang mudah tertebak. Seseorang yang dianggap ketawanya paling nyaring bisa saja dia menyimpan riuh yang berisik di kepalanya. Sekali lagi, kita tidak boleh memvonis seseorang hanya dengan melihat tampilan luarnya saja. Salah satu cara menjaga kesehatan mental dengan cara memperbaiki hubungan dengan orang lain karena dapat memberikan rasa dihargai dan meningkatkan kepercayaan diri seseorang.
Banyak kasus mengenai penyelesaian tugas akhir yang berujung mahasiswa “bersembunyi” dan tidak kembali melanjutkan perjalanan dikarenakan adanya tekanan serta tuntutan dari dosen pembimbing skripsi. Mirisnya lagi tidak ada uluran tangan dari sosok “orang tua” itu. Mereka seolah-olah melupakan kewajiban serta tanggung jawabnya dan menelantarkan “anak” tersebut. Lalu, dimana lagi tempat pulang yang nyaman? Bahkan mereka yang dianggap sebagai“orang tua” benar-benar bukan lagi tempat untuk kembali. Apakah kisah nyata ini hanya terjadi di kampus saya saja?
Maka dari itu, kita sebagai makhluk sosial selalu butuh dukungan orang lain. Anak selalu membutuhkan orang tuanya, begitupun dengan mahasiswa yang selalu butuh dengan dosen PAnya. Bagaimana hubungan emosional itu bisa terjalin jika pertemuan hanya dilakukan satu kali dalam satu semester, itupun hanya beberapa menit. Mahasiswa hanya menginginkan “tempat” nyaman itu, tempat dimana dia bisa berkeluh kesah tentang dramatisnya dunia kampus, mungkin hal seperti itu tidak didapatkan di rumah, tetapi kalau keadaannya seperti ini, maka peran “orang tua” memang tidak ditemukan di tempat manapun. Jadi benar, mahasiswa seperti ini hanya anak tiri yang tidak pernah dianggap kehadirannya.









