Iklim akademik di Indonesia menurut hemat saya, sebagai seorang mahasiswa pasca yang tak kunjung lulus disalah satu kampus di Makassar, bisa dikatakan terlalu berlebihan, jika seorang mahasiswa/mahasiswi diberikan beban untuk setiap hasil penelitiannya terbit di jurnal terindeks scopus. Alih-alih terbit, beban moril kepada informan di lokasi penelitian saja, cukup berat bagi saya pribadi. Karena saya riset petani di dataran tinggi, hampir semua informan saya bertanya, setelah wawancara begini dek, mau diapa? Dengan berat hati, kadang saya menjawab dan kadang diam, namun ketika saya menjawab, sering saya sebut “syarat kelulusan, semacam skripsi” karena kebetulan dilokasi riset saya, istilah tesis masih banyak belum mengetahuinya kecuali aparat desanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas soal apa itu tesis dan apa itu skripsi dalam konteks di perdesaan, tapi bagaimana perasaan dan beban saya sebagai seorang yang meneliti terhadap subyek yang saya teliti dan hubungannya dengan kebijakan kampus yang diwajibkan bagi mahasiswa/mahasiswi pascasarjana untuk hasilnya diterbitkan di jurnal terindeks scopus. Awweh!!! Mendengarnya saja cukup rumit dan berat yaa, atau hanya saya saja yang bodoh yang tidak mampu menulis artikel ilmiah bertaraf internasional? Sudahlah, karena ini merupakan pengalaman subyektif saya dan ketika ada yang juga merasakannya, berarti kitorang senasib dan siapkan uang kamu berjuta-juta rupiah untuk memenuhinya!!.
Atas kondisi tersebut, saya tiba-tiba teringat dengan ungkapan Eko Prasetyo ditahun 2017 silam, ketika beliau berkunjung ke komunitas kami di Makassar bahwa “papan tulis di kampus sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan realitas sosial” dari pernyatan tersebut, sering saya memikirkan ketika jam-jam rentan untuk OVT (pukul 00:00 ke atas) bagi pemuda seperti saya yang lebih banyak menganggur daripada bekerja, sering bertanya-tanya, apakah memang di Indonesia “ilmu hanya untuk ilmu?” dan setiap hasil penelitian terukur keilmiahannya, ketika terbit di scopus? terus subyek yang teliti? mendapatkan apa? Sedangkan yang meneliti sudah meniti karir akademik mulai dari asisten ahli hingga lektor kepala bahkan sudah menjadi guru besar, dan secara bersamaan di lokasi penelitiannya, khususnya para informannya masih dalam kondisi yang begitu-begitu saja.
Jarak antara iklim akademik kampus dengan kondisi dilokasi penelitian semakin nampak jurang pemisahnya, asiikk. Kalau dilihat beberapa syarat kampus sih untuk menuju standar internasional, salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah jumlah publikasi ilmiah yang berstandar scopus. Kalau diperhatikan ngeri-ngeri juga ya standar-standar dalam kebijakan tata kelola perguruan tinggi kita. Pastinya dosen-dosen dan segala aktivitas akademik seperti saya ini, yang juga bagian dari aktivitas tersebut, akan disibukan dengan tuntutan publikasi, dan segala urusan administratif. Efeknya adalah, jangankan untuk mengajak orang lain untuk terlibat dalam menyusun rumusan ilmiah untuk perubahan sosial, mengurus tanggung jawabnya saja di kampus sudah berat. Tapi masih banyak orang-orang kampus menganggap bahwa hal demikian sebagai sesuatu yang baik dan perlu diikuti segala proseduralnya. Jadi diam saja, apalagi mahasiswa seperti saya ini, punya kekuatan apa? Orang tua bukan pejabat, bayar UKT saja sudah setengah mati, apalagi mau ngurusin kebijakan perguruan tinggi di Indonesia. Biarkan pemangku kebijakan memikirkan hal demikian, setidaknya saya sebagai penyetor pajak 12% cukup menuliskan pengalam yang tidak seberapa penting ini.
Wadduhh!! Sudah terlalu jauh yaa. Tapi saya menganggap kehidupan kampus khususnya di Makassar semakin aneh-aneh, selaian dari kewajiban mahasiswa untuk publikasi hasil penelitiannya di jurnal terindeks scopus, seperti ada kampus yang memproduksi uang palsu (mungkin produksi buku sudah tidak menarik lagi yaa), ada juga kampus, dimana mahasiswa protes terhadap kebijakan kampus yang tidak adil, malah diancam scorsing bahkan DO, bahkan ada dosen yang sentimen terhadap mahasiswa yang memiliki perbedaan perspektif. Anehhh kali kan!! Sebenarnya masih banyak, dan teman-teman bisa cari sendiri keanehan-keanehan kehidupan akademik kampus Makassar di beranda pencaharian handphone masing-masing.
Saya melihat keanehan tersebut sebagai konsekuensi kebijakan perguruan tinggi yang sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka lupa atau pura-pura lupa memikirkan hal-hal subtansi yang berada di luar kampus. Salah satunya ialah memikirkan nasib atas kondisi penghidupan informan atau subyek penelitian yang memberi informasi di setiap topik penelitian yang dilakukan. Saya merasa bahwa informan dalam penelitian tesis saya adalah orang yang paling berjasa atas segala proses penyelesaian studi dan proses belajar saya di kampung. Kalau bisa memberi input dalam iklim akademik kampus, sebaiknya hasil penelitian yang dilakukan, dikembalikan ke kampung. Selayaknya seorang kesatria yang meminjam pedang kepada gurunya, kembalikan pedang itu pada tempatnya.
Sebagai kawan belajar yang baik, relasi in-subyektifitas antara peneliti dan yang diteliti, saya melihatnya sebagai suatu kesatuan untuk merumuskan tindakan bersama, dalam rangka menciptakan perubahan kecil atas kehidupan yang layak untuk dijalani masing-masing, bukan dituntut membuat artikel ilmiah yang terindeks scopus. saya menganggap hal demikian masih terlalu jauh, dari cita-cita pendidikan untuk menciptakan perubahan. Terakhir dari tulisan yang tidak seberapa penting ini, izin saya mengutip perkataan Paulo Freire sebagai seorang pakar pendidikan “ Jika Pendidikan Tidak Memerdekakan Maka Akan Hadir Penindas Baru”
Penulis: I Tolo’ Daeng Magassing
Editor: Hulwana Ahsyani









