Oleh: NanDitoSlank
Judul Buku : Romusa: Sejarah yang Terlupakan
Penulis : Hendri F. Isnaeni & Apid
Penerbit : Ombak
ISBN : 978-979-3472-88-1
Tahun Terbit: 2008
Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang panjang, khususnya sejarah sebagai bangsa yang terjajah berabad-abad lamanya. Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda adalah bangsa eropa yang pernah menjadikan Indonesia sebagai bangsa koloninya. Bukan hanya bangsa Eropa saja, melainkan juga bangsa Asia, yaitu Jepang juga pernah menjadikan Indonesia sebagai bangsa koloni.
Jauh sebelum Jepang menjadi bangsa imperialis, sejak 1639 pemerintah militer Tokugawa di Jepang menerapkan Politik Isolasi (Sakoku) yang membatasi secara ketat pengaruh asing yang masuk ke dalam negeri Jepang. Baru sekitar 2,5 abad kemudian, di bawah tekanan kekuatan bersenjata dari empat kapal uap dan sebuah kapal induk yang dipimpin oleh perwira Angkatan Laut Amerika Komodor Matthew C. Peery memaksa Jepang menandatangani sebuah traktat kerja sama, yang mengakhiri Politik Isolasi Jepang dan mulai membuka diri dari pengaruh luar, sekaligus meruntuhkan kekuasaan Dinasti Tokugawa pada 1868.
Pasca dibukanya Politik Isolasi, Jepang pernah menjadi satu-satunya negara Asia yang mampu menjadi imperialis. Sebelum berhasil menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia, Jepang terlebih dahulu mengalahkan pasukan sekutu (Belanda, Inggris, dan Australia). Setelah mampu mengalahkan pasukan sekutu, 8 Maret 1942, bertempat di Kalijati, Subang, diadakan perundingan antara pemerintah Hindia Belanda dan jepang.
Dalam perundingan ini, Letnan Jenderal Hithosi Imamura dan Kolonel Shoji sebagai wakil Jepang mendesak pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat dan mengalihkan kekuasaannya kepada Jepang. Tuntutan Jepang itu pun dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda dan sejak saat itu Jepang menggantikan posisi Belanda sebagai bangsa imperialis di Indonesia.
Kekuasaan Jepang di Indonesia terbilang singkat dibanding bangsa lainnya yang pernah menjajah Indonesia, yaitu tahun 1942-1945, praktik kolonialisme Jepang di Indonesia juga tidak kalah kejam dibanding yang lainnya. Berbagai tindakan dan kebijakan yang diterapkan Jepang sangat merugikan dan membuat masyarakat menderita. Salah satunya adalah kebijakan pengerahan romusa yang dibahas di dalam buku ini.
Kata romusa mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Sebelum membaca buku ini, anggapan saya tentang romusa sifatnya sama seperti kebijakan tanam paksa (Cultursteelsel) pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda yang diterapkan pada tahun 1830-1870, yaitu sebuah sistem yang dijalankan oleh pemerintah kolonial untuk mengeksploitasi alam dan masyarakat di Hindia Belanda. Ternyata kata romusa itu tidak merujuk pada suatu sistem, melainkan panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa imperialisme Jepang.
Pengerahaan romusa secara besar-besaran tidak lain karena motivasi tinggi Jepang dalam memenangkan Perang Pasifik. Walhasil, pengerahan romusa yang tadinya secara suka rela berubah menjadi usaha eksploitasi yang dikontrol langsung oleh militer Jepang. Mulai saat itu, pengerahan romusa secara besar-besaran diperlukan untuk proyek-proyek yang berkaitan secara langsung dengan kepentingan perang.
Proses perekrutan romusa dilakukan oleh Pangreh Praja (bupati, wedana, atau camat) yang berhubungan secara langsung dengan romusa adalah kepala desa dan perangkat desa. Setiap desa rata-rata harus menyediakan 20-50 orang romusa setiap minggu dan romusa ini harus berusia 14-45 tahun. Dalam proses perektutannya, masyarakat diiming-imingi pekerjaan yang layak dengan imbalan gaji. Ketertarikan masyarakat juga karena sebelum berangkat diberikan uang saku terlebih dahulu. Selain itu, menipu dan memaksa masyakarakat juga dilakukan demi memenuhi kuota romusa.
Dalam buku ini fokus membahas pengerahan dan kondisi romusa di pertambangan batubara Bayah Banten Selatan yang dimulai pada bulan Juli 1942 untuk menggantikan pasokan batu bara dari Sumatera dan Kalimantan. Perusahaan pertambangan didirikan atas kerja sama konglomerat swasta bernama Sumitomo dan pemerintah Jepang.
Tenaga kerja romusa di pertambangan batu bara Bayah dimobilisasi dari Jawa Tengah, Jawah Timur dan Cirebon. Kondisi romusa di pertambangan batu bara Bayah sangat memprihatikan. Proses produksi nyaris tidak berhenti.
Belum lagi persoalan upahnya romusa terima hanya berdasarkan kemauan Jepang. Kesaksian mantan romusa mengatakan upah dalam bentuk uang memang mereka dapatkan, tetapi jumlahnya tidak menentu.
Dalam pertambangan batu bara Bayah Tan Malaka pernah menjadi staf administrasi. Menurut Tan Malaka Jepang memberikan upah kepada romusa, membagi romusa dalam beberapa kategori berdasarkan kekuatan tubuh dan kemampuan kerja para romusa. Dalam persoalan makanan, hanya mereka dapatkan jika mereka bekerja dan jika tidak bekerja mereka tidak mendapatkan makanan.
Beratnya beban kerja, kurangnya makanan dan pakaian, wabah penyakit, dan kondisi badan serta pakaian yang terbuat dari kain goni yang kotor kian memperparah kondisi romusa di pertambangan batu bara Bayah. Kondisi ini membuat tewasnya ribuan romusa dipertambangan batu bara Bayah.