Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
Opini

(Bukan) Mimbar Pikiran: Mahasiswa (Tidak Mampu) Menyambut Perubahan

HMJ Ilmu Ekonomi
23 Mei 2023
Sumber: Washila

Sumber: Washila

0
SHARES
253
VIEWS
6 min read
A A

Tulisan ini hadir sebab kekecewaan saya pada dialog yang dilaksanakan, baik secara metode yang kuanggap kurang lebih sama dengan  metode perkuliahan dalam kelas yang tidak mendidik dan secara gagasan yang disampaikan tidak relevan bagi mahasiswa.

 

Seperti biasanya, ketika berada di kampus dan tidak memiliki tuntutan akademik atau kegiatan lainnya, saya memilih membunuh waktu di kafeteria ditemani secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok. Hari itu, kira-kira jam 10.00 pagi, 12 Mei 2023.

Saat sedang asyik berselancar di media sosial Instagram, melintas flayer informasi kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik (HIMAPOL) dan Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F) Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar. Kegiatan tersebut dialog yang mengangkat “Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan”.

Tak ada yang menarik dari tema tersebut. Namun, yang menarik dari dialog tersebut pelaksana mengundang Rocky Gerung sebagai narasumber utama. Saya termasuk orang yang sudah cukup lama mengikuti diskusi-diskusi yang melibatkan Rocky Gerung di berbagai stasiun televisi dan kuliah-kuliah yang ia bawakan yang banyak ditayangkan diberbagai channel YouTube.

Penampilan pertama Rocky Gerung yang saya tonton adalah saat forum Indonesian Lawyers Club (ILC), 10 April 2018 yang pada saat itu ada statement dari Rocky Gerung yang mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang melekat pada dirinya, saya cukup banyak belajar dari Rocky Gerung, khususnya belajar bagaimana cara berdiskusi yang mengandalkan argumentasi, dan bagaimana memanfaatkan serangan lawan diskusi/debat menjadi senjata untuk menyerang balik.

Olehnya itu, tak peduli dengan temanya yang tidak menarik, saya tetap putuskan untuk berburu tiket dialognya.

Setelah fokus pada sosok Rocky Gerung sebagai narasumber utama, dengan tetap menikmati kopi susu dan beberapa batang rokok di cafeteria, ada yang aneh dan “menarik” dari dialog dan dengan cepat menghadirkan beberapa pertanyaan di kepala saya.

Pertama, persoalan pelaksananya yaitu HIMAPOL dan SEMA-F Ushuluddin dan tema dialog,“Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan”. Aneh menurut saya, sebab secara umum bagi teman-teman pergerakan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, kedua lembaga kemahasiswaan yang menjadi pelaksana, paling tidak dalam beberapa tahun belakangan, dikenal cukup pasif dalam gerakan yang diinisiasi oleh berbagai Lembaga Kemahasiswaan UIN Alauddin Makassar, khususnya gerakan dalam lingkup kampus.

Kedua, hal ini paling mengherankan sekaligus lucu bagi saya. Bagaimana mungkin dialog yang membahas tentang mahasiswa, namun tidak ada mahasiswa yang menjadi narasumber. Bahkan untuk sekedar posisi moderator juga bukan dari pihak mahasiswa. Dosen Ilmu Politik yang bertindak sebagai moderator.

Selain menghadirkan Rocky Gerung (akademisi dan pengamat politik), narasumber lain yang hadir adalah Saut Situmorang (Mantan Komisioner KPK) dan Andi Sinulingga (Penggagas Kolaborasi Jakarta).

Ini sangat lucu bagi saya sebab bagaimana mungkin kita mau membahas tema tentang mahasiswa dan perubahan tapi tidak dihadirkan narasumber dari pihak mahasiswa. Padahal yang paling mampu menjelaskan masalah yang dihadapi mahasiswa sebelum menyambut perubahan adalah mahasiswa itu sendiri, bukan Akademisi, pengamat politik, dan politisi seperti narasumber yang dihadirkan di atas.

Melihat tema dan komposisi narasumber, seketika saya teringat dengan peristiwa perdepatan para pendiri bangsa pada Sidang BPUPKI, 10-11 Juni 1945, tentang apakah Papua menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.

Soekarno dan Yamin adalah orang yang paling kekeh untuk memasukkan Papua dalam bagian wilayah Indonesia. Dua tokoh tersebut menyampaikan gagasan yang didasarkan pada analisis historis, politik dan geopolitik bahwa Papua merupakan bagian dari wiliyah Indonesia.

Berbeda Soekarno dan Yamin, Hatta mengatakan bahwa wilayah Indonesia hanya meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda/bekas jajahan Belanda dan dengan tegas mengatakan bahwa nasib Papua seharusnya diserahkan kepada bangsa Papua sendiri.

Selain karena secara etnis yang berbeda, Hatta juga menganggap jika memasukkan Papua dalam wilayah Indonesia maka sama saja Indonesia menjadi negara imperialis baru, sebagaimana yang dikatakannya “Jadi jikalau ini diteruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut pasifik” (Baca: historia.id, “Ketika Hatta Menolak Papua”).

Mengapa saya teringat dengan perdebatan para pendiri bangsa dalam Sidang BPUPKI tersebut, karena saya melihat ada kesamaan dengan dialog yang akan dilaksanakan.

Kesamaannya dari Sidang BPUPKI dan dialog yang akan dilaksanakan adalah sama-sama tidak melihat penting entitas yang dibahas untuk dilibatkan. Sidang BPUPKI yang membahas tentang Papua, namun tidak satupun orang Papua yang terlibat, dan dialog yang membahas tentang mahasiswa namun tidak menghadirkan mahasiswa sebagai narasumber.

Beberapa hari yang lalu, saya dapat informasi dari salah satu kawan bahwa dialog yang awalnya akan dilaksanakan di Auditorium Kampus II UIN Alauddin Makassar dipindakan ke Sultan Alauddin Hotel & Convention Kampus I UIN Alauddin Makassar.

Informasi ini ia dapatkan dari salah satu panitia pelaksana bahwa alasan dipindahkannya lokasi dialog karena tidak mendapatkan izin dari pihak kampus untuk melaksanakan dialog di gedung Auditorium dengan alasan narasumber yang dihadirkan adalah Rocky Gerung yang notabene nonmuslim dan kerap mengkritik pemerintah.

Pemindahan lokasi dialog ini saya sebagai upaya pimpinan kampus mencekal Rocky Gerung untuk masuk ke Kampus II UIN Alauddin Makassar.

Setelah mendapatkan informasi tersebut, saya coba mencari tahu bagaimana sikap dari dua Lembaga Kemahasiswaan yang menjadi pelaksana tentang pencekalan Rocky Gerung.

Namun, sampai hari dimana dialog dilangsungkan saya sama sekali tidak melihat ada konter narasi untuk pihak kampus dari pihak pelaksana. Bahkan dalam kata sambutan Ketua Umum dari kedua pelaksana sebelum dialog berlangsung, sama sekali tidak mencoba membahas dan mengklarifikasi tentang pemindahan lokasi dialog.

Padahal menurut saya pencekalan Rocky Gerung untuk masuk ke Kampus II UIN Alauddin Makassar adalah masalah serius bagi kebebasan akademik mahasiswa UIN Alauddin Makassar.

Hari yang dinanti-nanti pun tiba. Kurang lebih pukul 11.00 WITA pembukaan dialog dimulai dengan sambutan Ketua Umum kedua Lembaga Kemahasiswaan. Setelah sambutan dari Ketua Umum, Master of Ceremony memberikan kesempatan pada seseorang yang ia sebut sebagai tokoh pergerakan (saya lupa siapa namanya) untuk memberikan sambutan.

Dalam sambutannya, ia malah menggunakan kesempatan tersebut untuk mengkampanyekan salah satu Capres pada Pilres 2024 yang akan datang. Saya katakan demikian karena, salah satu narasi yang ia sampaikan bahwa bangsa ini didirikan oleh para pendiri bangsa yang berasal dari golongan Islam dan nasionalisme.

Tokoh dari golongan Islam yang ia sebutkan adalah AR Baswedan yang merupakan kakek dari salah satu Capres bernama Anies Baswedan. Kampanye yang ia bungkus dalam kata sambutan ia pertegas dengan mengatakan latar belakang dirinya sebagai kader salah satu partai Islam.

Dalam sambutan yang disampaikan oleh kader salah satu partai ini, dua hal yang bisa saya tangkap. Pertama, ia coba menggunakan forum mahasiswa untuk mengkampayekan salah satu Capres serta partainya, dan yang kedua ia coba memalsukan sejarah.

Dengan mengatakan bahwa hanya ada dua golongan yang mendirikan bangsa ini yaitu golongan Islam dan nasionalisme menurut saya adalah pemalsuan sejarah. Ada banyak pihak yang terlibat dalam perjalanan bangsa mencapai kemerdekaan yang ia tidak sebutkan, salah satunya komunisme.

Ia lupa bagaimana peran besar komunisme di dekade kedua dan ketiga abad-20 dalam upaya melawan kolonialisme Belanda. Bahkan yang kita sebut sebagai Bapak Republik, Tan Malaka, merupakan tokoh komunisme yang pernah menjadi wakil Komunisme Internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Tenggara.

Setelah sambutan-sambutan, akhirnya dialog pun dimulai. Andi Sinulingga tampil sebagai pembicara pertama, Saut Situmorang sebagai pembicara kedua, dan Rocky Gerung sebagai pembicara terakhir. Kurang lebih hanya 30 menit waktu yang dihabiskan oleh ketiga narasumber untuk menyampaikan gagasannya.

Saat Andi Sinulingga menyampaikan gagasannya, sama sekali tidak ada poin yang bisa saya tangkap karena ia hanya tentang budaya Bugis-Makassar. Saut Situmorang mencoba membahas tentang KPK dan korupsi. Ia coba mendingkan Indeks Persepsi Korupsi Singapura yang berada pada skor 80, Indeks Persepsi Korupsi saat ia masih aktif di KPK yang berada pada skor 40, dan Indeks Persepsi Korupsi sekarang yang hanya berada pada skor 34.

Saut Situmorang juga sedikit membahas tentang pelemahan KPK melalui UU KPK yang baru dan lemahnya KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Saat Rocky Gerung menyampaikan gagasannya, tidak banyak poin yang bisa saya tangkap, kecuali ia menekankan pada para pemimpin maupun politisi untuk mengedepankan argumentasi/gagasan bukan basis sentimen.

Karena tidak ada poin yang relevan dengan topik pembahasan yang bisa ditangkap, akhirnya peserta dialog hanya terjebak pada euforia kalimat-kalimat sensasional yang keluar dari mulut Rocky Gerung.

Jika saya persentasikan gagasan yang disampaikan oleh ketiga narasumber, tidak lebih dari 2% gagasan yang membahas tentang tema yang diangkat, yaitu mahasiswa menyambut perubahan. Pembahasan dialog lebih banyak mengarah dalam melihat konstalasi politik elit menuju Pilpres 2024.

Saat dialog masih berlangsung, muncul banyak pertanyaan di kepala saya. Apa sebenarnya capai dari dialog ini? Apakah pembahasan yang lebih mengarah pada konstalasi politik elit merupakan inisiatif dari narasumber itu sendiri? Apakah pembahasan ini sudah sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang dibuat oleh pelaksana?

Setelah ketiga narasumber menyampaikan gagasannya, selanjutnya masuk ke sesi tanya-jawab. Moderator memberikan kesempatan sepuluh orang bertanya yang ia tunjuk langsung. Saat sesi tanya-jawab yang dipandu oleh moderator ini, kian memperparah ketidakjelasan dan kerancuan dari dialog tersebut.

Bagaimana mungkin dengan waktu yang sangat-sangat terbatas, moderator malah memberikan kesempatan pada sepuluh orang untuk bertanya. Dan parahnya lagi, saat mahasiswa bertanya moderator tidak memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berlama-lama mengutarakan gagasan di balik pertanyaan yang akan ia lontarkan. Moderator sangat menekankan mahasiswa untuk cepat-cepat menyampaikan poin pertanyaannya.

Namun, ketika seorang dosen yang bertanya, moderator tidak memperlakukan hal yang sama. Hal ini memancing kemarahan dari pihak mahasiswa karena moderator bertindak diskriminatif.

Saat sesi tanya-jawab berlangsung, saya sudah sangat tidak nyaman dengan suasana dialog sebab mahasiswa sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan gagasan.

Terakhir, melalui komposisi narasumber yang tidak melibatkan mahasiswa, gagasan narasumber yang tidak relevan dengan tema dialog yang diangkat, dan sikap diskriminatif moderator pada mahasiswa, saya mau mengatakan bahwa dialog dengan tema “Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan” ini sama sekali tidak berpihak pada pikiran mahasiswa.

PENULIS: NanDitoSlank

 

6 min read
A A

Tulisan ini hadir sebab kekecewaan saya pada dialog yang dilaksanakan, baik secara metode yang kuanggap kurang lebih sama dengan  metode perkuliahan dalam kelas yang tidak mendidik dan secara gagasan yang disampaikan tidak relevan bagi mahasiswa.

 

Seperti biasanya, ketika berada di kampus dan tidak memiliki tuntutan akademik atau kegiatan lainnya, saya memilih membunuh waktu di kafeteria ditemani secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok. Hari itu, kira-kira jam 10.00 pagi, 12 Mei 2023.

Saat sedang asyik berselancar di media sosial Instagram, melintas flayer informasi kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik (HIMAPOL) dan Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F) Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar. Kegiatan tersebut dialog yang mengangkat “Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan”.

Tak ada yang menarik dari tema tersebut. Namun, yang menarik dari dialog tersebut pelaksana mengundang Rocky Gerung sebagai narasumber utama. Saya termasuk orang yang sudah cukup lama mengikuti diskusi-diskusi yang melibatkan Rocky Gerung di berbagai stasiun televisi dan kuliah-kuliah yang ia bawakan yang banyak ditayangkan diberbagai channel YouTube.

Penampilan pertama Rocky Gerung yang saya tonton adalah saat forum Indonesian Lawyers Club (ILC), 10 April 2018 yang pada saat itu ada statement dari Rocky Gerung yang mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang melekat pada dirinya, saya cukup banyak belajar dari Rocky Gerung, khususnya belajar bagaimana cara berdiskusi yang mengandalkan argumentasi, dan bagaimana memanfaatkan serangan lawan diskusi/debat menjadi senjata untuk menyerang balik.

Olehnya itu, tak peduli dengan temanya yang tidak menarik, saya tetap putuskan untuk berburu tiket dialognya.

Setelah fokus pada sosok Rocky Gerung sebagai narasumber utama, dengan tetap menikmati kopi susu dan beberapa batang rokok di cafeteria, ada yang aneh dan “menarik” dari dialog dan dengan cepat menghadirkan beberapa pertanyaan di kepala saya.

Pertama, persoalan pelaksananya yaitu HIMAPOL dan SEMA-F Ushuluddin dan tema dialog,“Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan”. Aneh menurut saya, sebab secara umum bagi teman-teman pergerakan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, kedua lembaga kemahasiswaan yang menjadi pelaksana, paling tidak dalam beberapa tahun belakangan, dikenal cukup pasif dalam gerakan yang diinisiasi oleh berbagai Lembaga Kemahasiswaan UIN Alauddin Makassar, khususnya gerakan dalam lingkup kampus.

Kedua, hal ini paling mengherankan sekaligus lucu bagi saya. Bagaimana mungkin dialog yang membahas tentang mahasiswa, namun tidak ada mahasiswa yang menjadi narasumber. Bahkan untuk sekedar posisi moderator juga bukan dari pihak mahasiswa. Dosen Ilmu Politik yang bertindak sebagai moderator.

Selain menghadirkan Rocky Gerung (akademisi dan pengamat politik), narasumber lain yang hadir adalah Saut Situmorang (Mantan Komisioner KPK) dan Andi Sinulingga (Penggagas Kolaborasi Jakarta).

Ini sangat lucu bagi saya sebab bagaimana mungkin kita mau membahas tema tentang mahasiswa dan perubahan tapi tidak dihadirkan narasumber dari pihak mahasiswa. Padahal yang paling mampu menjelaskan masalah yang dihadapi mahasiswa sebelum menyambut perubahan adalah mahasiswa itu sendiri, bukan Akademisi, pengamat politik, dan politisi seperti narasumber yang dihadirkan di atas.

Melihat tema dan komposisi narasumber, seketika saya teringat dengan peristiwa perdepatan para pendiri bangsa pada Sidang BPUPKI, 10-11 Juni 1945, tentang apakah Papua menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.

Soekarno dan Yamin adalah orang yang paling kekeh untuk memasukkan Papua dalam bagian wilayah Indonesia. Dua tokoh tersebut menyampaikan gagasan yang didasarkan pada analisis historis, politik dan geopolitik bahwa Papua merupakan bagian dari wiliyah Indonesia.

Berbeda Soekarno dan Yamin, Hatta mengatakan bahwa wilayah Indonesia hanya meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda/bekas jajahan Belanda dan dengan tegas mengatakan bahwa nasib Papua seharusnya diserahkan kepada bangsa Papua sendiri.

Selain karena secara etnis yang berbeda, Hatta juga menganggap jika memasukkan Papua dalam wilayah Indonesia maka sama saja Indonesia menjadi negara imperialis baru, sebagaimana yang dikatakannya “Jadi jikalau ini diteruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut pasifik” (Baca: historia.id, “Ketika Hatta Menolak Papua”).

Mengapa saya teringat dengan perdebatan para pendiri bangsa dalam Sidang BPUPKI tersebut, karena saya melihat ada kesamaan dengan dialog yang akan dilaksanakan.

Kesamaannya dari Sidang BPUPKI dan dialog yang akan dilaksanakan adalah sama-sama tidak melihat penting entitas yang dibahas untuk dilibatkan. Sidang BPUPKI yang membahas tentang Papua, namun tidak satupun orang Papua yang terlibat, dan dialog yang membahas tentang mahasiswa namun tidak menghadirkan mahasiswa sebagai narasumber.

Beberapa hari yang lalu, saya dapat informasi dari salah satu kawan bahwa dialog yang awalnya akan dilaksanakan di Auditorium Kampus II UIN Alauddin Makassar dipindakan ke Sultan Alauddin Hotel & Convention Kampus I UIN Alauddin Makassar.

Informasi ini ia dapatkan dari salah satu panitia pelaksana bahwa alasan dipindahkannya lokasi dialog karena tidak mendapatkan izin dari pihak kampus untuk melaksanakan dialog di gedung Auditorium dengan alasan narasumber yang dihadirkan adalah Rocky Gerung yang notabene nonmuslim dan kerap mengkritik pemerintah.

Pemindahan lokasi dialog ini saya sebagai upaya pimpinan kampus mencekal Rocky Gerung untuk masuk ke Kampus II UIN Alauddin Makassar.

Setelah mendapatkan informasi tersebut, saya coba mencari tahu bagaimana sikap dari dua Lembaga Kemahasiswaan yang menjadi pelaksana tentang pencekalan Rocky Gerung.

Namun, sampai hari dimana dialog dilangsungkan saya sama sekali tidak melihat ada konter narasi untuk pihak kampus dari pihak pelaksana. Bahkan dalam kata sambutan Ketua Umum dari kedua pelaksana sebelum dialog berlangsung, sama sekali tidak mencoba membahas dan mengklarifikasi tentang pemindahan lokasi dialog.

Padahal menurut saya pencekalan Rocky Gerung untuk masuk ke Kampus II UIN Alauddin Makassar adalah masalah serius bagi kebebasan akademik mahasiswa UIN Alauddin Makassar.

Hari yang dinanti-nanti pun tiba. Kurang lebih pukul 11.00 WITA pembukaan dialog dimulai dengan sambutan Ketua Umum kedua Lembaga Kemahasiswaan. Setelah sambutan dari Ketua Umum, Master of Ceremony memberikan kesempatan pada seseorang yang ia sebut sebagai tokoh pergerakan (saya lupa siapa namanya) untuk memberikan sambutan.

Dalam sambutannya, ia malah menggunakan kesempatan tersebut untuk mengkampanyekan salah satu Capres pada Pilres 2024 yang akan datang. Saya katakan demikian karena, salah satu narasi yang ia sampaikan bahwa bangsa ini didirikan oleh para pendiri bangsa yang berasal dari golongan Islam dan nasionalisme.

Tokoh dari golongan Islam yang ia sebutkan adalah AR Baswedan yang merupakan kakek dari salah satu Capres bernama Anies Baswedan. Kampanye yang ia bungkus dalam kata sambutan ia pertegas dengan mengatakan latar belakang dirinya sebagai kader salah satu partai Islam.

Dalam sambutan yang disampaikan oleh kader salah satu partai ini, dua hal yang bisa saya tangkap. Pertama, ia coba menggunakan forum mahasiswa untuk mengkampayekan salah satu Capres serta partainya, dan yang kedua ia coba memalsukan sejarah.

Dengan mengatakan bahwa hanya ada dua golongan yang mendirikan bangsa ini yaitu golongan Islam dan nasionalisme menurut saya adalah pemalsuan sejarah. Ada banyak pihak yang terlibat dalam perjalanan bangsa mencapai kemerdekaan yang ia tidak sebutkan, salah satunya komunisme.

Ia lupa bagaimana peran besar komunisme di dekade kedua dan ketiga abad-20 dalam upaya melawan kolonialisme Belanda. Bahkan yang kita sebut sebagai Bapak Republik, Tan Malaka, merupakan tokoh komunisme yang pernah menjadi wakil Komunisme Internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Tenggara.

Setelah sambutan-sambutan, akhirnya dialog pun dimulai. Andi Sinulingga tampil sebagai pembicara pertama, Saut Situmorang sebagai pembicara kedua, dan Rocky Gerung sebagai pembicara terakhir. Kurang lebih hanya 30 menit waktu yang dihabiskan oleh ketiga narasumber untuk menyampaikan gagasannya.

Saat Andi Sinulingga menyampaikan gagasannya, sama sekali tidak ada poin yang bisa saya tangkap karena ia hanya tentang budaya Bugis-Makassar. Saut Situmorang mencoba membahas tentang KPK dan korupsi. Ia coba mendingkan Indeks Persepsi Korupsi Singapura yang berada pada skor 80, Indeks Persepsi Korupsi saat ia masih aktif di KPK yang berada pada skor 40, dan Indeks Persepsi Korupsi sekarang yang hanya berada pada skor 34.

Saut Situmorang juga sedikit membahas tentang pelemahan KPK melalui UU KPK yang baru dan lemahnya KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Saat Rocky Gerung menyampaikan gagasannya, tidak banyak poin yang bisa saya tangkap, kecuali ia menekankan pada para pemimpin maupun politisi untuk mengedepankan argumentasi/gagasan bukan basis sentimen.

Karena tidak ada poin yang relevan dengan topik pembahasan yang bisa ditangkap, akhirnya peserta dialog hanya terjebak pada euforia kalimat-kalimat sensasional yang keluar dari mulut Rocky Gerung.

Jika saya persentasikan gagasan yang disampaikan oleh ketiga narasumber, tidak lebih dari 2% gagasan yang membahas tentang tema yang diangkat, yaitu mahasiswa menyambut perubahan. Pembahasan dialog lebih banyak mengarah dalam melihat konstalasi politik elit menuju Pilpres 2024.

Saat dialog masih berlangsung, muncul banyak pertanyaan di kepala saya. Apa sebenarnya capai dari dialog ini? Apakah pembahasan yang lebih mengarah pada konstalasi politik elit merupakan inisiatif dari narasumber itu sendiri? Apakah pembahasan ini sudah sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang dibuat oleh pelaksana?

Setelah ketiga narasumber menyampaikan gagasannya, selanjutnya masuk ke sesi tanya-jawab. Moderator memberikan kesempatan sepuluh orang bertanya yang ia tunjuk langsung. Saat sesi tanya-jawab yang dipandu oleh moderator ini, kian memperparah ketidakjelasan dan kerancuan dari dialog tersebut.

Bagaimana mungkin dengan waktu yang sangat-sangat terbatas, moderator malah memberikan kesempatan pada sepuluh orang untuk bertanya. Dan parahnya lagi, saat mahasiswa bertanya moderator tidak memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berlama-lama mengutarakan gagasan di balik pertanyaan yang akan ia lontarkan. Moderator sangat menekankan mahasiswa untuk cepat-cepat menyampaikan poin pertanyaannya.

Namun, ketika seorang dosen yang bertanya, moderator tidak memperlakukan hal yang sama. Hal ini memancing kemarahan dari pihak mahasiswa karena moderator bertindak diskriminatif.

Saat sesi tanya-jawab berlangsung, saya sudah sangat tidak nyaman dengan suasana dialog sebab mahasiswa sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan gagasan.

Terakhir, melalui komposisi narasumber yang tidak melibatkan mahasiswa, gagasan narasumber yang tidak relevan dengan tema dialog yang diangkat, dan sikap diskriminatif moderator pada mahasiswa, saya mau mengatakan bahwa dialog dengan tema “Mimbar Pikiran: Mahasiswa Menyambut Perubahan” ini sama sekali tidak berpihak pada pikiran mahasiswa.

PENULIS: NanDitoSlank

 

Comments 1

  1. Hyuga says:
    2 tahun ago

    Menarik bung, ditunggu gebrakan-gebrakan baru ta bung. Barangkali anda bisa menjadi tokoh penggerak awal lahirnya gebrakan baru yang dimulai dari mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Sekiranya antara gagasan dan aktualisasi perlu berjalan beriringan.

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Kampanye LK FEBI, Tolak Praktik Penjualan Buku

5 November 2025

Kemahasiswaan

31 Oktober 2025

Kemahasiswaan

31 Oktober 2025

Alternatif Gerakan Sosial Menuju Perubahan

26 Oktober 2025

Dugaan Pungutan Liar Di Ilmu Ekonomi, Mahasiswa Keluhkan Harga

23 Oktober 2025

Liberalisme dan Imperialisme

17 Oktober 2025
Kirim Tulisan Jadilah bagian dan terlibat untuk perubahan dengan ikut berdiskusi dan berbagi gagasan kritis, edukatif dan progresif di anotasiar...» Kirim tulisanmu
Artikel Berikutnya
Dokumentasi pribadi

Sidang Putusan Ditunda: Aliansi Bara-baraya Bersatu Tetap Memassifkan Aksinya.

Dokumentasi pribadi

Mengetuk Nurani Hakim: Bara – Baraya Menanti Keadilan.

Dokumentasi pribadi

Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Gelar Sekolah Ekonomi Politik

Unit Penerbitan dan Pers Mahasiswa

HMJ Ilmu Ekonomi UIN Alauddin Makassar

  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© Anotasiar. All rights reserved

  • Login
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman

© Anotasiar. All rights reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist