Republik Islam Iran adalah negara arab yang paling konsisten menyatakan perang terbuka dengan Israel, Amerika dan sekutunya dengan alasan yang syar’i. Perlawanan yang serius, tanpa kompromi dan intrik politik yang tiada arti, menjadikan Iran tidak mudah ditaklukkan oleh siasat kotor zionis. Tentu, dibalik itu semua, kita mengetahui bahwa Republik Islam Iran menanamkan spirit karbala sebagai basis gerakan melawan kedzaliman. Para putra terbaik Imam Husain berani menyatakan keber-Islam-an nya dengan rudal keimanan yang kokoh, konsisten dan revolusioner.
Tragedi Karbala bukanlah tragedi biasa, ia hadir sebagai sebuah peristiwa yang unik di tahun 64 Hijriah. Bukanlah peristiwa perebutan kekuasaan seperti yang diceritakan beberapa sejarawan. Tapi pada intinya adalah perjuangan menegakkan ajaran-ajaran pokok Islam yang revolusioner. Pertempuran ini harusnya dilihat sebagai pertempuran antara kejahatan dan kebenaran, untuk memperebutkan idiom teologis dan politis sebagaimana dalam doa Imam Husein “ya Allah! Kau sendiri tau bahwa apa yang telah kami tunjukkan bukan demi persaingan atau kekuasaan, tidak pula demi duniawi. Melainkan untuk tegaknya agama-Mu, demi mengislah persada bumi-Mu, demi menentramkan hamba-hamba-Mu yang tertindas sehingga dapat mengamalkan kewajiban dan hukum-hukum agama-Mu”. Maka konsekuensi logis dari peristiwa Karbala adalah pernyataan ke-Esa-an Allah SWT beriring dengan pernyataan politik Islam yang menyatukan ummat dalam panji kebenaran.
Benih-benih perlawanan Karbala lahir dari adanya nilai-nilai Islam yang revolusioner tergerus oleh kelakuan Dinasti Umayyah yang sangat kelewatan. Abudzar al Ghifari yang berusaha melawan penumpukan kekayaan yang dilakukan oleh Muawiyah rupanya tak cukup. Hingga pada akhir hayatnya, Muawiyah melanggar perjanjiannya dengan Imam Hasan (kakak kandung Ima jim Husein) dan mengalihkan kepemimpinan kepada anaknya Yazid sebagai pelaku asusila dan simbol jahiliyah. Yazid yang haus akan legitimasi menginstruksikan kepada gubernur Madinah untuk memaksa sang Imam yang saat itu berada di Madinah untuk mengakui (bai’at) kepemimpinannya.
Setelah diuber-uber oleh rezim Yazid, akhirnya sang Imam memutuskan untuk pergi ke Kufa. Dalam perjalanannya menuju Kufa, beliau beserta para pengikutnya yang setia, dikepung oleh pasukan Ubaidillah Ibn Ziyad yang baru saja menjadi gubernur Kufa saat itu. Akbatnya pada tanggal 7 Muharram Imam Husein dan pengikutnya kehabisan makanan karena tentara Ziyad membatasi pasokan makanan agar Imam Husein dan pengikutnya menyerah dan tunduk pada rezim Yazid yang congkak. Alih-alih menyerah, pada tanggal 10 Muharram, dengan jumlah tak lebih dari 72 orang, dilanda puncak kelaparan dan kehausan, Imam Husein dan pengikutnya memutuskan untuk berperang sampai mati. Dalam peperangan yang tidak seimbang itu menyebabkan Imam Husein dan yang lainnya syahid serta keluarga beliau dijadikan tawanan perang.
Dibalik kisah epik itu, darah jihad mereka memberikan motivasi hidup yang baru untuk memperjuangkan revolusi Islam. Sebagai dinamika sejarah, hari ini Islam mengalami pola yang sama dengan berdiri tegak melawan zionis. Bukankah Imam Husein dan pengikutnya yang gugur menjadi saksi kenapa mereka mati?. Pembantaian, diskriminasi, pelecehan, pembunuhan dirasakan oleh anak-anak dan wanita di Gaza setiap harinya dengan kelaparan. Mereka yang tertindas tidak melahirkan keajaiban, kecuali keberanian dan kesabaran tiada tara.
Maka melawan Israel, Amerika dan sekutunya adalah melawan imperealisme, kolonialisme dan kapitalisme global. Ideologi revolusioner Republik Islam Iran yang diilhami ajaran Syi’ah Imamiyah nampaknya berhasil mengimplementasikan konsep amar ma’ruf nahi munkar pada skala global. Hal ini mewujud pada konsistensi Imam Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Republik Islam Iran untuk menolak segala upaya negosiasi dan akan meladeni perang yang dikumandangkan lebih dulu oleh musuh-musuh Islam sebagaimana yang disamapaikannya pada pidato nasional yang disiarkan langsung pada Rabu malam tanggal 18 Juni. Hal ini memicu energi poisitif dalam mendorong upaya politik Islam demi mempersatukan ummat dan menuju koridor keadilan yang dirindukan.
Di bulan Muharram adalah momentum ummat Islam untuk mempersatukan gerakan. Imam Husein, bukan saja milik Syi’ah, tetapi milik ummat manusia yang merindukan keadilan, seperti apa yang disampaikan oleh Atoine Bara dalam bukunya “Imam Hussein in Christian Ideolgy”.
Penulis: Ahmad Raihan
Editor: M Yusrifar







