Oleh: NanDitoSlank
Judul Buku : A Feminist Manifesto, Kita Semua Harus Menjadi Feminis
Penulis : Chimamanda Ngozi Adichie
Penerbit : Odyssee Publishing
ISBN : 978-0-7334-2609-4
Tahun Terbit : 2019
Topik tentang feminisme bukanlah hal baru yang saya dapatkan dengan membaca buku bersampul warna merah jambu ini. Belakangan ini, feminisme cukup ramai menjadi topik perbincangan di lingkungan saya, paling tidak semenjak saya memasuki dunia perguruan tinggi pada tahun 2018 lalu. Karena keramaiannya tersebut, sering kali saya pun tercebur dalam pendiskusian mengenai topik ini, baik diskusi yang dilakukan secara formal dengan metode kajian atau dialog publik maupun pendiskusian yang dilakukan secara tidak formal di tongkrongan (walaupun sebetulnya saya kurang tertarik dengan topik tersebut).
Kesimpulan yang bisa saya tarik dari berbagai macam orang yang menyampaikan topik mengenai feminisme yang ia pahami, bahwa relasi sosial yang telah kita bangun ternyata mengakar ketidakadilan gender, dan kontruksi gender tersebut memposisikan perempuan sebagai jenis kelamin yang paling rentan.
Namun, yang membuat saya kurang tertarik dengan narasi feminisme, pertama karena narasi feminisme yang sering saya jumpai pembahasannya menitikberatkan pada jenis kelamin tertentu (perempuan) yang dirugikan oleh jenis kelamin lainnya (laki-laki). Padahal menurut saya, persoalannya bukan pada jenis kelamin mana yang dirugikan yang perlu kita bahas, tetapi ketidakadilan itu sendiri yang perlu kita lawan atas nama kemanusiaan.
Kedua, feminisme membuat kita bias dalam melihat masalah utama yang melahirkan segala bentuk ketidakdilan di dunia ini, yaitu kapitalisme. Banyak orang-orang membicarakan persoalan feminisme yang saya jumpai (khususnya perempuan) malah mempertontonkan sentimen antar jenis kelamin. Sentimen antar jenis kelamin ini yang membuat kita bias dalam melihat masalah utama yang tentunya akan berakibat pada melemahnya agenda-agenda perubahan menuju dunia yang lebih berkeadilan bagi manusia.
Nah, buku berjudul “A Feminist Manifesto Kita Semua Harus Menjadi Feminis” karya Chimamanda Ngozi Adichie ini adalah buku pertama yang saya baca mengenai topik feminisme. Dan ternyata argumentasi dan pertanyaan-pertanyaan skeptis yang saya yakini persoalan feminisme selama ini paling bisa terjawab.
Skeptis pertama saya di atas, mengapa feminisme menitikberatkan pada perempuan, bukan pada manusia itu sendiri?
Poin pertanyaan di atas ternyata juga pernah beberapa orang menanyakan kepada Chimamanda. Mengapa menggunakan kata feminis? Mengapa tidak bilang saja anda seorang yang mengimani hak asasi manusia, atau semacamnya? Bagi Chimamanda, dengan menggunakan kata seorang yang mengimani hak asasi manusia atau semacamnya, itu tidak jujur. Walaupun menurutnya feminisme juga bagian dari hak asasi manusia secara umum. Mengapa tidak jujur, karena itu sama saja kita menyangkal masalah spesifik dan khusus mengenai gender (khususnya gender yang dilekatkan pada perempuan). Ini sama halnya dengan menyangkal bahwa berabad-abad lamanya perempuan menjadi jenis kelamin yang paling rentan mengalami ketidakadilan karena terlahir sebagai perempuan adalah sebuah kesalahan.
Skeptis kedua, feminisme membuat kita bias dalam melihat masalah utama, yaitu kapitalisme. Baik laki-laki dan perempuan selama berabad-abad pula memiliki potensi yang sama untuk dimiskinkan di bawah dominasi kapitalisme yang kian mengakar dan terus berevolusi. Oleh karena itu, kita tidak seharusnya menyibukkan diri dengan sentimen antar jenis kelamin.
Tapi, bagi Chimamanda gender dan kelas itu suatu hal yang berbeda. Di atas budaya tidak ramah gender yang kita bangun, laki-laki miskin masih tetap memiliki hak istimewa karena terlahir sebagai seorang laki-laki adalah sebuah keistimewaan. Namun, tidak bagi perempuan. Di tengah dominasi kapitalisme dan budaya tidak ramah gender, perempuan akan mendapatkan ketidakadilan yang berlipat ganda.
Buku yang ditulis oleh seorang perempuan yang dibesarkan di Nigeria ini pula dapat memperlihatkan bagaimana diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Selain itu, buku ini juga dapat membantu kita dalam memahami feminisme dengan lebih sederhana.
“Budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya”.
Buku ini memperlihatkan kepada kita betapa budaya yang kita bangun hari ini ternyata telah membuat perempuan tercerabut dari kemanusiaannya itu sendiri, hanya karena terlahir sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan. Bahkan tanpa kita sadari, ketidakadilan yang dialami oleh perempuan kerap kita jumpai dikeseharian kita disetiap sudut ruang dan waktu. Ketidakadilan tersebut kita anggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dan kodrati karena budaya tidak ramah gender yang kita bangun.
Sebagai seorang yang terlahir sebagai perempuan di tengah lingkungan yang tidak ramah gender, Chimamanda Ngozi Adichie yang menyebut dirinya sebagai seorang “Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Pria dan Suka Memakai Lip Gloss dan Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Pria” juga mengalami ketidakadilan tersebut sejak kecil hingga dewasa.
Semasa di Sekolah Dasar, Chimamanda ingin menjadi pengawa kelas. Pengawas kelas menurutnya suatu hal yang luar biasa karena dapat menulis nama-nama yang suka membuat kebisingan. Selain itu, pengawas kelas juga diberikan semacam tongkat ketika hendak menyisir meja-meja untuk mengawasi anak-anak yang rebut.
Untuk memilih pengawas kelas, guru Chimamanda akhirnya melakukan tes dan siswa yang mendapatkan skor tertinggilah yang dipilih sebagai pengawas kelas. Dalam tes tersebut, Chimamanda mendapatkan skor tertinggi. Namun yang membuat ia terkejut, gurunya mengatakan bahwa pengawas kelas harus seorang laki-laki. Ia lupa menjelaskan di awal karena menurutnya itu sudah diketahui secara umum bahwa akses publik haruslah mendahulukan laki-laki dibandingkan perempuan. Akhirnya, laki-laki yang memiliki skor tertinggi kedua di bawah skor Chimamanda yang menjadi pengawas kelas.
Masih banyak perlakuan tidak adil hanya karena terlahir sebagai seorang perempuan yang diceritakan oleh Chimamanda dalam buku ini. Bahkan, ketidakadilan tersebut juga ia alami diparkiran. Soeorang tukang parkir yang ia beri uang tidak mengucapkan terima kasih kepadanya hanya karena ada seorang laki-laki yang menemaninya. Tukang parkir tersebut malah mengucapkan terima kasih kepada laki-laki yang menemani Chimamanda karena pandangan umum mengatakan bahwa hanya seorang laki-laki yang dapat menghasilkan uang. Pokoknya, kemanapun perempuan melangkahkan kaki, maka perlakuan diskriminatif akan selalu membayanginya.
Termasuk dalam dunia kerja. Undang-undang Lilly Ledbetter yang ramai dibahas pada salah satu Pemilu di Amerika Serikat melegitimasi diskriminasi upah bagi perempuan. Seorang laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan yang sama, dengan kualifikasi yang sama, tetapi perempuan akan dibayar lebih murah karena seorang ia perempuan.
Yang bermasalah dari gender dan adalah ia menentukan bagaimana seharusnya kita berlaku, bukan mengakui siapa kita sebenarnya sebagai seorang individu yang autentik. Itu semua disebabkan oleh ekspektasi gender sudah mengkondisikan kita.
Dalam budaya tidak ramah gender bukan cuman perempuan saja yang dirugikan melainkan juga manusia yang terlahir berjenis kelamin laki-laki. Sebagai contoh laki-laki pengawas kelas yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia memiliki hati yang manis dan lembut, dan sama sekali tidak berminat untuk berpatroli mengawasi situasi kelas menggunakan tongkat. Namun, karena ekspektasi gender menyakini bahwa laki-laki merupakan jenis kelamin pemimpin yang memiliki ketegasan dan kecakapan tertentu, alhasil laki-laki pengawas kelas tersebut harus terpaksa menjadi berpura-pura demi memenuhi ekspektasi gender.
Chimamanda juga melihat salah satu persoalan mendasar dari budaya tidak ramah gender kita hari ini disebabkan oleh pola asuh kita sedari dini, atau pola asuh anak. Chimamanda dalam buku ini juga memberikan kepada kita solusi praktis kepada kita bagaimana mendidik dan membesarkan anak agar dunia kita kedepannya lebih berkeadilan dengan mefokuskan pada kemampuan dan minat anak daripada gender.
Olehnya itu, kita semua harus menjadi feminis!
Buku ini mengutip dua definisi feminis. Pertama pengertian feminis yang ditemui Chimamanda di dalam kamus yang mendefinisikan feminis sebagai seorang yang percaya bahwa pada kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi untuk kedua jenis kelamin. Dan yang kedua, definisi yang lebih sederhana dari Chimamanda sendiri yaitu seorang feminis adalah mereka baik laki-laki maupun perempuan yang mengatakan, “Ya, ada masalah dengan gender dan kita harus memperbaikinya, kita harus bertindak dengan lebih baik”.