Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
Opini

Aktivis Mahasiswa Berengsek

Anotasiar
7 Mei 2020
Ilustrasi, NanDitoSlank. Tim Anotasiar.ID

Ilustrasi, NanDitoSlank. Tim Anotasiar.ID

0
SHARES
48
VIEWS
3 min read
A A

“ AKTIVIS CABUL,” makinya.

Teriakan bernada makian dengan tampang penuh dendam dari seorang perempuan yang berada di tengah massa aksi demonstrasi penolakan RUU Omnibus Law disalah satu kota metropolitan di Indonesia. Teriakan dari perempuan tersebut merupakan respon terhadap perlakuan beberapa orang massa aksi dari kaum adam yang entah dengan sengaja ataupun tidak melakukan pelecehan verbal.

Aktivis mahasiswa. Istilah yang cukup familier ditelinga kalangan mahasiswa. Tipe aktivis mahasiswa ini biasanya berpenampilan urakan atau slenge’an (mungkin memaksakan berpenampilan slenge’an). Rokok, kopi, dan buku seakan telah diangkat menjadi kekasihnya. Pergi kemana pun pasti ia bawa jua. Kehadiran buku di dalam tasnya tidak pernah alfa, pasti ia selalu membawa buku kemanapun melangkahkan kaki. Kamar kostnya penuh dengan coretan atau poster bernada perlawanan. Kamar kostnya juga seakan sesak oleh tumpukan buku-buku bacaan bergenre novel-novel perlawanan, ekonomi politik, filsafat, sejarah, biografi tokoh revolusi, dan kadang juga kita temukan buku bergenre agama (biar dikira agamis). Walaupun penuh dengan buku, akan sangat jarang kita jumpai buku-buku mata kuliah yang berkaitan dengan program studi yang sedang ditempuhnya.

Gampang saja jika ingin mencari keberadaan tipe aktivis mahasiswa ini. Jika tidak sedang berada di kamar kostnya, paling-paling ia ada di sekretariat organisasi, di kampus (bukan berarti masuk kuliah, lebih seringnya nongkrong di pelataran fakultas atau kantin), atau di ruang-ruang diskusi atau kajian (sesekali ia juga membawa materi kajian).

Jika memandangnya dari perspektif dosen dan pemangku kebijakan, aktivis mahasiswa bukanlah tipe mahasiswa yang ideal. Bagaimana tidak, sikapnya yang kerap melawan kebijakan kampus dan selalu saja membawa perspektif kritis diluar dari perspektif pengetahuan dari dosen yang mengajar, tentu sangat menjengkelkan.

Disetiap kajian membahas isu dan konsolidasi aksi, aktivis mahasiswa ini kerap hadir. Ketika saatnya tiba aksi demonstrasi digelar, suaranya terdengar paling lantang (katanya demi keadilan), bahkan ia pun tak gentar jika harus berhadap-hadapan dengan aparat keamanan (lagi-lagi demi keadilan).

Melihat gaya hidup dan keseharian dari aktivis mahasiswa ini, tentu sangat progresif bukan? Tapi tunggu dulu, tidak semua tipe aktivis mahasiswa ini sebaik dan seprogresif yang saya jelaskan di atas. Ada banyak tipe aktivis mahasiswa yang kerap menyuarakan keadilan, tapi dilain sisi ia juga ‘’Berengsek’’ (sebenarnya saya ingin menggunakan diksi bangsat, tapi takutnya nanti dianggap terlalu kasar).

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya terlebih dahulu ingin meminta izin kepada perempuan. Izinkan sejenak saya berandai-andai menjadi seorang perempuan. Jika saya seorang perempuan, mungkin saja saya akan tertarik menjadi kekasih dari aktivis mahasiswa. Dikenal banyak orang dikampus, rajin baca buku, diskusi, kajian, aktif di organisasi, dan pembela keadilan, sangat menarik, bukan? Belum lagi jika sudah tampan (seperti saya), kurang apa lagi untuk dijadikan seorang kekasih.

Nah, disinilah letak keberengsekan yang acap kali kita jumpai dari orang yang ”katanya” seorang aktivis mahasiswa jika sudah mengikat seorang perempuan dengan status pacaran. Relasi kuasanya sangat terasa mengekang gerak jiwa dan raga dari kekasihnya. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang kerap menentang kebijakan yang dikeluarkan kampus atau negara, dalam menjalani hubungan dengan kekasihnya ia kerap menciptakan kebijakan dan memaksakan kebijakannya. Tak jarang kebijakan tersebut ia ciptakan tanpa proses dialektis dan tidak demokratis.

Keberengsekan aktivis mahasiswa dalam menjalani hubungan pacaran akan tambah menjadi-jadi, jika perempuan yang menjadi kekasihnya sudah terlanjur cinta (katanya) padanya. Jika sudah seperti itu, tampaklah riwayat jiwa dan raga seorang perempuan itu. Ia akan terus mengalami eksploitasi dari kekasihnya sendiiri. Jika sudah seperti ini, ia tak ada bedanya dengan kerbau yang dicocok hidungnya. Perempuan ini akan dengan seenaknya diperlakukan seperti apapun oleh kekasih yang ia (katanya) cintai dengan segenap jiwa dan raga, tanpa berusaha untuk melawan. Jangankan melawan, bahkan untuk bertanya pun sudah dihantui rasa takut membuat kekasihnya marah.

Selain relasi kuasa berkedok pacaran, aktivis mahasiswa berengsek juga kerap menancapkan kuasanya dibalik relasi antar senior dan junior. Dengan modal sosial yang lebih besar (sebagai senior), ia kerap memanfaatkan statusnya sebagai senior dikampus untuk mengeksploitasi juniornya. Biasanya si senior secara tidak langsung (agar tetap terlihat berwibawa) memakalaki si junior. Eksploitasi yang dilakukan si senior tipe aktivis mahasiswa berengsek ini bukan cuman dari segi materi. Kerap juga ia memanfaatkan tenaga dari juniornya, seperti meminta tolong dikerjakan tugas kuliah (bukan main banyaknya tugas ini).

Eksploitasi berkedok relasi senior junior ini secara sistematis dibungkus dengan dalih “proses” (katanya ada masanya si junior juga punya junior). Mereka yang paling sering menjadi korbannya adalah mahasiswa baru dan lagi-lagi berasal dari kaum hawa. Sampai disini bisa kita lihat betapa berengseknya tipe aktivis mahasiswa ini yang paling lantang menyuarakan keadilan dan kebenaran serta bercita-cita terbentuknya tatanan dunia tanpa eksploitasi.

Teruntuk perempuan yang menjadi korban penindasan, kesadaran akan kondisi ketertindasan tidak akan merubah apa-apa jika tidak dibarengi dengan sikap berlawan.

Penulis : Nan Dito Slank
Editor   : Tim Anotasiar.ID

*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Febi) Semester IV

Tag: Opini
3 min read
A A

“ AKTIVIS CABUL,” makinya.

Teriakan bernada makian dengan tampang penuh dendam dari seorang perempuan yang berada di tengah massa aksi demonstrasi penolakan RUU Omnibus Law disalah satu kota metropolitan di Indonesia. Teriakan dari perempuan tersebut merupakan respon terhadap perlakuan beberapa orang massa aksi dari kaum adam yang entah dengan sengaja ataupun tidak melakukan pelecehan verbal.

Aktivis mahasiswa. Istilah yang cukup familier ditelinga kalangan mahasiswa. Tipe aktivis mahasiswa ini biasanya berpenampilan urakan atau slenge’an (mungkin memaksakan berpenampilan slenge’an). Rokok, kopi, dan buku seakan telah diangkat menjadi kekasihnya. Pergi kemana pun pasti ia bawa jua. Kehadiran buku di dalam tasnya tidak pernah alfa, pasti ia selalu membawa buku kemanapun melangkahkan kaki. Kamar kostnya penuh dengan coretan atau poster bernada perlawanan. Kamar kostnya juga seakan sesak oleh tumpukan buku-buku bacaan bergenre novel-novel perlawanan, ekonomi politik, filsafat, sejarah, biografi tokoh revolusi, dan kadang juga kita temukan buku bergenre agama (biar dikira agamis). Walaupun penuh dengan buku, akan sangat jarang kita jumpai buku-buku mata kuliah yang berkaitan dengan program studi yang sedang ditempuhnya.

Gampang saja jika ingin mencari keberadaan tipe aktivis mahasiswa ini. Jika tidak sedang berada di kamar kostnya, paling-paling ia ada di sekretariat organisasi, di kampus (bukan berarti masuk kuliah, lebih seringnya nongkrong di pelataran fakultas atau kantin), atau di ruang-ruang diskusi atau kajian (sesekali ia juga membawa materi kajian).

Jika memandangnya dari perspektif dosen dan pemangku kebijakan, aktivis mahasiswa bukanlah tipe mahasiswa yang ideal. Bagaimana tidak, sikapnya yang kerap melawan kebijakan kampus dan selalu saja membawa perspektif kritis diluar dari perspektif pengetahuan dari dosen yang mengajar, tentu sangat menjengkelkan.

Disetiap kajian membahas isu dan konsolidasi aksi, aktivis mahasiswa ini kerap hadir. Ketika saatnya tiba aksi demonstrasi digelar, suaranya terdengar paling lantang (katanya demi keadilan), bahkan ia pun tak gentar jika harus berhadap-hadapan dengan aparat keamanan (lagi-lagi demi keadilan).

Melihat gaya hidup dan keseharian dari aktivis mahasiswa ini, tentu sangat progresif bukan? Tapi tunggu dulu, tidak semua tipe aktivis mahasiswa ini sebaik dan seprogresif yang saya jelaskan di atas. Ada banyak tipe aktivis mahasiswa yang kerap menyuarakan keadilan, tapi dilain sisi ia juga ‘’Berengsek’’ (sebenarnya saya ingin menggunakan diksi bangsat, tapi takutnya nanti dianggap terlalu kasar).

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya terlebih dahulu ingin meminta izin kepada perempuan. Izinkan sejenak saya berandai-andai menjadi seorang perempuan. Jika saya seorang perempuan, mungkin saja saya akan tertarik menjadi kekasih dari aktivis mahasiswa. Dikenal banyak orang dikampus, rajin baca buku, diskusi, kajian, aktif di organisasi, dan pembela keadilan, sangat menarik, bukan? Belum lagi jika sudah tampan (seperti saya), kurang apa lagi untuk dijadikan seorang kekasih.

Nah, disinilah letak keberengsekan yang acap kali kita jumpai dari orang yang ”katanya” seorang aktivis mahasiswa jika sudah mengikat seorang perempuan dengan status pacaran. Relasi kuasanya sangat terasa mengekang gerak jiwa dan raga dari kekasihnya. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang kerap menentang kebijakan yang dikeluarkan kampus atau negara, dalam menjalani hubungan dengan kekasihnya ia kerap menciptakan kebijakan dan memaksakan kebijakannya. Tak jarang kebijakan tersebut ia ciptakan tanpa proses dialektis dan tidak demokratis.

Keberengsekan aktivis mahasiswa dalam menjalani hubungan pacaran akan tambah menjadi-jadi, jika perempuan yang menjadi kekasihnya sudah terlanjur cinta (katanya) padanya. Jika sudah seperti itu, tampaklah riwayat jiwa dan raga seorang perempuan itu. Ia akan terus mengalami eksploitasi dari kekasihnya sendiiri. Jika sudah seperti ini, ia tak ada bedanya dengan kerbau yang dicocok hidungnya. Perempuan ini akan dengan seenaknya diperlakukan seperti apapun oleh kekasih yang ia (katanya) cintai dengan segenap jiwa dan raga, tanpa berusaha untuk melawan. Jangankan melawan, bahkan untuk bertanya pun sudah dihantui rasa takut membuat kekasihnya marah.

Selain relasi kuasa berkedok pacaran, aktivis mahasiswa berengsek juga kerap menancapkan kuasanya dibalik relasi antar senior dan junior. Dengan modal sosial yang lebih besar (sebagai senior), ia kerap memanfaatkan statusnya sebagai senior dikampus untuk mengeksploitasi juniornya. Biasanya si senior secara tidak langsung (agar tetap terlihat berwibawa) memakalaki si junior. Eksploitasi yang dilakukan si senior tipe aktivis mahasiswa berengsek ini bukan cuman dari segi materi. Kerap juga ia memanfaatkan tenaga dari juniornya, seperti meminta tolong dikerjakan tugas kuliah (bukan main banyaknya tugas ini).

Eksploitasi berkedok relasi senior junior ini secara sistematis dibungkus dengan dalih “proses” (katanya ada masanya si junior juga punya junior). Mereka yang paling sering menjadi korbannya adalah mahasiswa baru dan lagi-lagi berasal dari kaum hawa. Sampai disini bisa kita lihat betapa berengseknya tipe aktivis mahasiswa ini yang paling lantang menyuarakan keadilan dan kebenaran serta bercita-cita terbentuknya tatanan dunia tanpa eksploitasi.

Teruntuk perempuan yang menjadi korban penindasan, kesadaran akan kondisi ketertindasan tidak akan merubah apa-apa jika tidak dibarengi dengan sikap berlawan.

Penulis : Nan Dito Slank
Editor   : Tim Anotasiar.ID

*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Febi) Semester IV

Tag: Opini

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ARTIKEL TERKAIT

Dugaan Pungutan Liar Di Ilmu Ekonomi, Mahasiswa Keluhkan Harga

21 Oktober 2025

Liberalisme dan Imperialisme

17 Oktober 2025

Gerak Menuju Runtuhnya Kapitalisme

3 Oktober 2025

Cerita Lama Yang Sia-sia

2 Oktober 2025

Analisis Gender

28 September 2025

Kapitalisme Dan Lingkungan

26 September 2025
Kirim Tulisan Jadilah bagian dan terlibat untuk perubahan dengan ikut berdiskusi dan berbagi gagasan kritis, edukatif dan progresif di anotasiar...» Kirim tulisanmu
Artikel Berikutnya
Ilstrasi: Open Democracy

New Normal: Jalan Keluar atau Isu Politik?

(Foto: IST)

Puisi: Manifestasi Puisi

SK Rektor UIN Alauddin Nomor 491 Tahun 2020 Tentang Keringanan Uang Kuliah Tunggal Mahasiswa Di Lingkungan UIN Alauddin Makassar Atas Dampak Bencana Pandemi Covid-19, Gowa, (25/06/2020).

SK Rektor Dianggap Tidak Merepresentasikan Kepentingan Mahasiswa

Unit Penerbitan dan Pers Mahasiswa

HMJ Ilmu Ekonomi UIN Alauddin Makassar

  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© Anotasiar. All rights reserved

  • Login
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman

© Anotasiar. All rights reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist