Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman
No Result
View All Result
  • Login
Anotasiar.ID
Opini

Elite Rekonsiliasi, FPI Dibubarkan: Oposisi Mati di Negeri Demokrasi

Anotasiar
30 Desember 2020
Menko Polhukam Mahfud MD umumkan larangan aktivitas larangan aktivitas dan kegiatan FPI, Rabu, 30 Desember 2020.

Menko Polhukam Mahfud MD umumkan larangan aktivitas larangan aktivitas dan kegiatan FPI, Rabu, 30 Desember 2020.

0
SHARES
73
VIEWS
4 min read
A A

Rabu, 30 Desember 2020 sehari menjelang perayaan malam pergantian Tahun Baru Masehi. Malam pergantian tahun biasanya digunakan untuk berkumpul bersama sanak saudara maupun karib untuk merayakan momentum malam yang hanya datang sekali setahun itu.

Perayaan ini biasanya dilangsungkan di suatu rumah ataupun di ruang publik (atau diruang publik yang terprivatisasi) dibawah gegap gempita kembang api yang tak henti-hentinya menembaki langit seakan melampiaskan dendam kesumat yang sudah setahun lamanya terpendam . Bisa jadi, ada juga yang merayakan malam pergantian tahun baru di ruang tertutup bersegi empat bersama dengan istri, pacar, dan bisa jadi juga pasangan have fun, selingkuhan ataupun pasangan pesanan.

Dari sekian banyak aktivitas perayaan malam pergantian tahun yang disebutkan di atas dan masih banyak lagi ragam aktivitas yang tidak sempat disebutkan, benang merah dari ragam aktivitas tersebut adalah perayaan malam tahun baru dijadikan momentum bersuka cita.

Namun, sehari menjelang momentum suka cita menyambut, Rezim Jokowi-Ma’ruf melalui Kementertian Hukum dan HAM mengirimkan sebuah pesan yang terasa bagai ‘peluru sniper yang sangat mematikan’ langsung ke arah jantung sebuah organisasi yang memiliki basis massa besar sebagai kekuatan sehingga tidak disengaja berubah menjadi kekuatan politik. Organisasi tersebut dikenal dengan sebutan Front Pembela Islam (FPI). Pesan tersebut berbunyi dengan lantang FPI ‘’DIBUBARKAN dan DILARANG BERKEGIATAN’’.

Hal yang menimpa FPI tersebut sebagaimana yang dikatakan Menko Polhukam Mahfud MD, pelarangan itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan lembaga yakni, Mendagri, MenkumHAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri serta BNPT (Baca: Liputan 6 ‘’7 Alasan FPI Dibubarkan dan Dilarang Berkegiatan).

Sebelum FPI, pembubaran organisasi kemasyarakatan juga pernah dilakukan oleh Jokowi selama menjabat sebagai Presiden RI. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga pernah merasakannya, di periode pertama kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI. Jauh sebelum itu, 12 Maret 1966 melalui Keputusan Nomor 1/3/1966 dibawah tampuk kekuasaan Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI) juga dibubarkan dan dijadikan organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.

Sebelum membahas kembali persoalan FPI, mari kita lihat sejenak dinamika kontestasi politik elektoral dan pasca kontesi, bagi-bagi ‘kue’ kekuasaan. Dalam kontestasi Pilpres 2019, Jokowi selaku petahana kembali ikut bertarung memperebutkan posisi orang nomor satu di Indonesia. Ia beserta partai politik yang mendukungnya bersepakat untuk menggandeng seorang ulama, Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Dalam Pilpres tersebut, Jokowi-Ma’ruf berhadapan dengan pasangan Prabowo-Sandi.

Singkat cerita, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Selasa, 21 Mei 2020, Jokowi Ma’ruf unggul dengan perolehan suara 55,50%. Belum genap dua bulan berselang dari pengumuman hasil rekapitulasi KPU, kedua pasangan calon yang bersitegang semenjak pra pilpres hingga pasca pilpres untuk pertama kalinya kembali bertemu. Pertemuan itu berlangsung di atas moda transportasi publik Mass Rapid Transit (MRT), Sabtu, 13 Juli 2019.

Publik menyebut pertemuan tersebut sebagai ‘rekonsiliasi MRT’. Pertemuan itu dianggap sebagai deklarasi rekonsiliasi antara kedua belah pihak. Rocky Gerung menganggap rekonsiliasi sebagai pengalaman buruk (Lihat: Talk Show TvOne ‘’ Usai Rekonsiliasi MRT, Rocky Gerung: Prabowo Leader atau Dealer?).

Minggu, 20 Oktober 2019, tepat pukul 15:30 WIB, prosesi pelantikan Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden RI periode 2019-2024 dilangsungkan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (Baca: Presidenri ‘’Pelantikan Presiden dan Wakil Predisen Republik Indonesia Periode 2019-2020). Tiga hari berselang pelantikan, anggapan publik mengenai rekonsiliasi MRT pun menjadi kenyataan. Rabu, 23 Oktober 2019, Jokowi sebagai Presiden RI terpilih menunjuk Prabowo sebagai lawan politiknya di Pilres 2019 menjadi Menteri Pertahanan.

Dua kekuatan politik besar yang memutuskan untuk bersatu dalam Istana menyebabkan kekuatan oposisi yang menjadi keniscayaan demokrasi dan diharapkan sebagai pengontrol kebijakan penguasa menjadi sangat lemah. Terbukti dengan RUU Omnibus Law yang merupakan buatan dari Staf Presiden lalu diserahkan ke DPR. Kamis, 2 April 2020 DPR mulai membahas RUU tersebut. Tanpa penolakan yang berarti di parlemen dengan secepat kilat RUU Omnibus Law akhirnya sah menjadi UU, Senin, 5 Oktober 2020.

Bukan hanya Prabowo saja yang memutuskan untuk duduk bersama di ‘meja makan kekuasaan’ dengan Jokowi-Ma’ruf. Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo melawan Jokowi-Ma’ruf di Pilres 2019 juga turut serta mengambil satu kursi di ‘meja makan kekuasaan’ tersebut. Selasa, 22 Desember 2020, Sandiaga Uno ditunjuk oleh Jokowi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan menteri sebelumnya yaitu Wishnutama.

Akhirnya, semua figur politik di Pilpres 2019 bersatu dalam ‘meja makan kekuasaan’ yang sama. Menurut Rocky Gerung, oposisi penting posisinya sebagai pengontrol (Lihat: CNN Indonesia ‘’Debat Seru Rocky Gerung & Arief Poyuono Soal Koalisi dan Oposisi). Posisi oposisi yang menjadi keniscayaan dalam demokrasi pun menjadi pertanyaan disaat semua bersepakat untuk rekonsiliasi

Disinilah pentingnya masyarakat mengambil peran sebagai pengontrol terhadap perjalanan kekuasaan, tak terkecuali masyarakat yang memutuskan berserikat dalam naungan organisasi, baik itu organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, maupun organisasi kemasyarakatan lainya.

Dalam kontestasi Pilpres 2019, melalui juru bicaranya Munarman, FPI menegaskan bahwa mendukung penuh Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 (Baca: Kumparan ‘’FPI Siap Menangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019). Menyikapi rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo Juli 2019, FPI dengan menolak rekonsiliasi tersebut (Baca: Alinea ‘’FPI & PA 212 Tolak Rekonsiliasi Prabowo-Jokowi).

FPI merupakan organisasi masyarakat yang memiliki figur pemimpin yang dikenal oleh masyarakat atas berbagai kontroversinya dan basis massa yang besar. Dalam perjalanannya, FPI kerap kali bersitegang dengan pemerintah, baik itu di tingkat daerah maupun nasional.

Di tengah meredupnya gerakan sosial yang dilakukan oleh pemuda, mahasiswa, dan masyarakat secara umum melawan segala bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh Negara. Hal ini terjadi mungkin saja terpengaruh oleh situasi sosial atau juga mungkin karena upaya pembungkapan baik secara langsung maupun tidak langsung (entah siapa yang melakukannya), organisasi seperti FPI yang memilih berseberangan dengan penguasa (entah secara total atau setengah-tengah) malah dibubarkan dan dilarang segala bentuk aktivitasnya oleh pemerintah melalui SKB. Akhirnya, kekuatan oposisi yang tidak begitu besar ditingkatan masyarakat pun berkurang dengan keputusan pemerintah tersebut.

Jika mereka yang ada di tingkatan elite memutuskanuntuk rekonsiliasi, dan masyarakat lapisan bawah yang berada dalam barisan massa juga dibungkam dan dilarang, maka oposisi sebagai pengontrol dan penginterupsi segala bentuk tindakan dan kebijikan penguasa di negeri yang katanya demokrasi berada di ujung tanduk kematian.

Tulisan ini lahir bukan sebab penulis adalah simpatisan dari FPI. Sebab penulis pun dalam aktivitas dan beberapa kasus yang melibatkan FPI yang sempat diikuti pemberitaannya cenderung tidak sepakat dengan FPI. Tulisan ini murni karena penulis merasa khawatir dengan posisi oposisi yang berada dalam barisan massa terancam mati di tengah para elite sibuk rekonsiliasi.

Penulis : Nan Dito Slank
Editor   : Tim Anotasiar.ID

Tag: Opini
4 min read
A A

Rabu, 30 Desember 2020 sehari menjelang perayaan malam pergantian Tahun Baru Masehi. Malam pergantian tahun biasanya digunakan untuk berkumpul bersama sanak saudara maupun karib untuk merayakan momentum malam yang hanya datang sekali setahun itu.

Perayaan ini biasanya dilangsungkan di suatu rumah ataupun di ruang publik (atau diruang publik yang terprivatisasi) dibawah gegap gempita kembang api yang tak henti-hentinya menembaki langit seakan melampiaskan dendam kesumat yang sudah setahun lamanya terpendam . Bisa jadi, ada juga yang merayakan malam pergantian tahun baru di ruang tertutup bersegi empat bersama dengan istri, pacar, dan bisa jadi juga pasangan have fun, selingkuhan ataupun pasangan pesanan.

Dari sekian banyak aktivitas perayaan malam pergantian tahun yang disebutkan di atas dan masih banyak lagi ragam aktivitas yang tidak sempat disebutkan, benang merah dari ragam aktivitas tersebut adalah perayaan malam tahun baru dijadikan momentum bersuka cita.

Namun, sehari menjelang momentum suka cita menyambut, Rezim Jokowi-Ma’ruf melalui Kementertian Hukum dan HAM mengirimkan sebuah pesan yang terasa bagai ‘peluru sniper yang sangat mematikan’ langsung ke arah jantung sebuah organisasi yang memiliki basis massa besar sebagai kekuatan sehingga tidak disengaja berubah menjadi kekuatan politik. Organisasi tersebut dikenal dengan sebutan Front Pembela Islam (FPI). Pesan tersebut berbunyi dengan lantang FPI ‘’DIBUBARKAN dan DILARANG BERKEGIATAN’’.

Hal yang menimpa FPI tersebut sebagaimana yang dikatakan Menko Polhukam Mahfud MD, pelarangan itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan lembaga yakni, Mendagri, MenkumHAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri serta BNPT (Baca: Liputan 6 ‘’7 Alasan FPI Dibubarkan dan Dilarang Berkegiatan).

Sebelum FPI, pembubaran organisasi kemasyarakatan juga pernah dilakukan oleh Jokowi selama menjabat sebagai Presiden RI. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga pernah merasakannya, di periode pertama kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI. Jauh sebelum itu, 12 Maret 1966 melalui Keputusan Nomor 1/3/1966 dibawah tampuk kekuasaan Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI) juga dibubarkan dan dijadikan organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.

Sebelum membahas kembali persoalan FPI, mari kita lihat sejenak dinamika kontestasi politik elektoral dan pasca kontesi, bagi-bagi ‘kue’ kekuasaan. Dalam kontestasi Pilpres 2019, Jokowi selaku petahana kembali ikut bertarung memperebutkan posisi orang nomor satu di Indonesia. Ia beserta partai politik yang mendukungnya bersepakat untuk menggandeng seorang ulama, Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Dalam Pilpres tersebut, Jokowi-Ma’ruf berhadapan dengan pasangan Prabowo-Sandi.

Singkat cerita, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Selasa, 21 Mei 2020, Jokowi Ma’ruf unggul dengan perolehan suara 55,50%. Belum genap dua bulan berselang dari pengumuman hasil rekapitulasi KPU, kedua pasangan calon yang bersitegang semenjak pra pilpres hingga pasca pilpres untuk pertama kalinya kembali bertemu. Pertemuan itu berlangsung di atas moda transportasi publik Mass Rapid Transit (MRT), Sabtu, 13 Juli 2019.

Publik menyebut pertemuan tersebut sebagai ‘rekonsiliasi MRT’. Pertemuan itu dianggap sebagai deklarasi rekonsiliasi antara kedua belah pihak. Rocky Gerung menganggap rekonsiliasi sebagai pengalaman buruk (Lihat: Talk Show TvOne ‘’ Usai Rekonsiliasi MRT, Rocky Gerung: Prabowo Leader atau Dealer?).

Minggu, 20 Oktober 2019, tepat pukul 15:30 WIB, prosesi pelantikan Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden RI periode 2019-2024 dilangsungkan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (Baca: Presidenri ‘’Pelantikan Presiden dan Wakil Predisen Republik Indonesia Periode 2019-2020). Tiga hari berselang pelantikan, anggapan publik mengenai rekonsiliasi MRT pun menjadi kenyataan. Rabu, 23 Oktober 2019, Jokowi sebagai Presiden RI terpilih menunjuk Prabowo sebagai lawan politiknya di Pilres 2019 menjadi Menteri Pertahanan.

Dua kekuatan politik besar yang memutuskan untuk bersatu dalam Istana menyebabkan kekuatan oposisi yang menjadi keniscayaan demokrasi dan diharapkan sebagai pengontrol kebijakan penguasa menjadi sangat lemah. Terbukti dengan RUU Omnibus Law yang merupakan buatan dari Staf Presiden lalu diserahkan ke DPR. Kamis, 2 April 2020 DPR mulai membahas RUU tersebut. Tanpa penolakan yang berarti di parlemen dengan secepat kilat RUU Omnibus Law akhirnya sah menjadi UU, Senin, 5 Oktober 2020.

Bukan hanya Prabowo saja yang memutuskan untuk duduk bersama di ‘meja makan kekuasaan’ dengan Jokowi-Ma’ruf. Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo melawan Jokowi-Ma’ruf di Pilres 2019 juga turut serta mengambil satu kursi di ‘meja makan kekuasaan’ tersebut. Selasa, 22 Desember 2020, Sandiaga Uno ditunjuk oleh Jokowi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan menteri sebelumnya yaitu Wishnutama.

Akhirnya, semua figur politik di Pilpres 2019 bersatu dalam ‘meja makan kekuasaan’ yang sama. Menurut Rocky Gerung, oposisi penting posisinya sebagai pengontrol (Lihat: CNN Indonesia ‘’Debat Seru Rocky Gerung & Arief Poyuono Soal Koalisi dan Oposisi). Posisi oposisi yang menjadi keniscayaan dalam demokrasi pun menjadi pertanyaan disaat semua bersepakat untuk rekonsiliasi

Disinilah pentingnya masyarakat mengambil peran sebagai pengontrol terhadap perjalanan kekuasaan, tak terkecuali masyarakat yang memutuskan berserikat dalam naungan organisasi, baik itu organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, maupun organisasi kemasyarakatan lainya.

Dalam kontestasi Pilpres 2019, melalui juru bicaranya Munarman, FPI menegaskan bahwa mendukung penuh Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 (Baca: Kumparan ‘’FPI Siap Menangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019). Menyikapi rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo Juli 2019, FPI dengan menolak rekonsiliasi tersebut (Baca: Alinea ‘’FPI & PA 212 Tolak Rekonsiliasi Prabowo-Jokowi).

FPI merupakan organisasi masyarakat yang memiliki figur pemimpin yang dikenal oleh masyarakat atas berbagai kontroversinya dan basis massa yang besar. Dalam perjalanannya, FPI kerap kali bersitegang dengan pemerintah, baik itu di tingkat daerah maupun nasional.

Di tengah meredupnya gerakan sosial yang dilakukan oleh pemuda, mahasiswa, dan masyarakat secara umum melawan segala bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh Negara. Hal ini terjadi mungkin saja terpengaruh oleh situasi sosial atau juga mungkin karena upaya pembungkapan baik secara langsung maupun tidak langsung (entah siapa yang melakukannya), organisasi seperti FPI yang memilih berseberangan dengan penguasa (entah secara total atau setengah-tengah) malah dibubarkan dan dilarang segala bentuk aktivitasnya oleh pemerintah melalui SKB. Akhirnya, kekuatan oposisi yang tidak begitu besar ditingkatan masyarakat pun berkurang dengan keputusan pemerintah tersebut.

Jika mereka yang ada di tingkatan elite memutuskanuntuk rekonsiliasi, dan masyarakat lapisan bawah yang berada dalam barisan massa juga dibungkam dan dilarang, maka oposisi sebagai pengontrol dan penginterupsi segala bentuk tindakan dan kebijikan penguasa di negeri yang katanya demokrasi berada di ujung tanduk kematian.

Tulisan ini lahir bukan sebab penulis adalah simpatisan dari FPI. Sebab penulis pun dalam aktivitas dan beberapa kasus yang melibatkan FPI yang sempat diikuti pemberitaannya cenderung tidak sepakat dengan FPI. Tulisan ini murni karena penulis merasa khawatir dengan posisi oposisi yang berada dalam barisan massa terancam mati di tengah para elite sibuk rekonsiliasi.

Penulis : Nan Dito Slank
Editor   : Tim Anotasiar.ID

Tag: Opini

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ARTIKEL TERKAIT

Kemahasiswaan

31 Oktober 2025

Kemahasiswaan

31 Oktober 2025

Alternatif Gerakan Sosial Menuju Perubahan

26 Oktober 2025

Dugaan Pungutan Liar Di Ilmu Ekonomi, Mahasiswa Keluhkan Harga

23 Oktober 2025

Liberalisme dan Imperialisme

17 Oktober 2025

Gerak Menuju Runtuhnya Kapitalisme

3 Oktober 2025
Kirim Tulisan Jadilah bagian dan terlibat untuk perubahan dengan ikut berdiskusi dan berbagi gagasan kritis, edukatif dan progresif di anotasiar...» Kirim tulisanmu
Artikel Berikutnya

Upaya Meretas Kapitalisme: Islam Sebagai Gerakan Pembebasan

Miskin karena Kurang Beribadah? Kesalahan Berpikir dan Berbahaya

Suasana Panggung Bebas Ekspresi dan Lapak Baca Mahasiswa FEBI, Rabu (23 Juni 2021).

Dekan FEBI Tidur Saat Ingin Ditemui, Mahasiswa Coba ‘Bangunkan’ dengan Berorasi, Bernyanyi dan Berpuisi

Unit Penerbitan dan Pers Mahasiswa

HMJ Ilmu Ekonomi UIN Alauddin Makassar

  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© Anotasiar. All rights reserved

  • Login
  • Beranda
  • News
  • Liputan Khusus
    • Reportase
    • Investigasi
  • Opini
  • Sastra
    • Feature
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Resume
  • Dokumentasi
  • Info & Agenda
    • Jadwal Acara
    • Pengumuman

© Anotasiar. All rights reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist