Setelah membaca tulisan Bung Arya yang berjudul “Meneropong Polemik Minat Ormawa” di narasiutopia.blogspot, saya terinspirasi menulis sebuah opini yang temanya pun berkaitan dengan organisasi kemahasiswaan. Hal tersebut merupakan salah satu tema yang menarik di percakapkan di sudut-sudut kampus.
Meminjam istilah involusi dari Alexander Goldenweiser, seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat. Dia telah melukiskan pola-pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang nampaknya telah pasti tidak berhasil menstabilisasinya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga menjadi semakin rumit.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, involusi di artikan sebagai gerak yang stagnan atau mandek tidak adanya perubahan atau kemajuan yang hakiki, ibarat kata jalan di tempat.
Involusi organisasi kemahasiswaan saat ini menimbulkan kecemasan pada kalangan aktivis gerakan mahasiswa. Tidak adanya progresifitas, aktivitas keorganisasian sekedar formalitas, dimulai dari proses pemilihan ketua dan perangkat-perangkat jabatan struktural hingga rapat kerja yang membahas berbagai porgram kerja selama kepengurusan. Hanya untuk sekedar di berikan pengakuan telah menjalankan aktivitas keorganisasian. Tanpa mengerti dan memahami apa sebenarnya yang menjadi hakikat dan tujuan organisasi kemahasiswaan. Akhirnya ormawa mengalami kemandekan di tubuh organisasi bahkan mengalami kemunduran drastis, tidak membawa perubahan yang signifikan. Yang ada hanya perubahan pengurus organisasi tiap tahunnya. Demikianlah Involusi organisasi kemahasiswaan, dimana aktivitas keorganisasian berjalan, tetapi hanya jalan di tempat.
Organisasi kemahasiswaan yang seharusnya menjadi lokomotif gerakan mahasiswa, wadah ideologisasi dan penyebarluasan wacana kritis untuk menciptakan kesadaran kritis dikalangan mahasiswa, saat ini organisasi kemahasiswaan justru telah kehilangan filoshopinya. Dilain sisi fenomena politik pragmatis di kalangan mahasiswa telah mengangkangi marwah organisasi kemahasiswaan.
Para pelaku politik pragmatis berlomba-lomba memperebutkan jabatan struktural untuk menaburkan benih-benih kekuasaan. Sangat jarang agenda progresif ditemui dalam organisasi kemahasiswaan yang dikerumuni aktor pragmatis, kebanyakan diantaranya memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi atau beberapa golongan, ironisnya organisasi kemahasiswaan tak ubahnya sarang mafia. Sarangnya para aktivis perampok, sebut saja aktivis gerakan 86.
Sangat di sayangkan di tengah situasi polemik isu sosial, ekonomi politik dan budaya bangsa hari ini, gerakan mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan tidak mampu keluar dari permasalahnya sendiri. Bagaimana memanjangkan nafas perjuangan dalam situasi semacam ini kawan?
Kita sama-sama berharap dan manaruh harapan pada organisasi kemahasiswaan untuk kembali lagi pada semangat atau cita-cita awal didirikanya, mulai sekarang benahilah dan yang terutama cabut benalu-benalu yang menempel di tubuh organisasi. Kehadiran mereka kontra produktif dengan semangat dasar organisasi, keberadaan mereka tidak pantas di dalam organisasi yang mengemban amanah serta semangat perjuangan yang suci, secara perlahan-lahan mereka menghancurkan dan bahkan membunuh organisasi. Tidakkah kalian menyaksikan, memahami dan mengambil pelajaran dari kehancuran beberapa organisasi hari ini?
Demikianlah tulisan pendek ini, selamat berfikir kawan.
Penulis : Andika, S.H
Editor : Radiatul Adwia