Jakarta, 14 Mei 2024 – Salah satu tipologi konflik yang seringkali terjadi di perkebunan sawit adalah konflik kemitraan. Konflik kemitraan merupakan putaran kedua pasca konflik tenurial yang menjadi akar permasalahannya. Salah satu contoh konflik kemitraan yang masih terjadi dan cenderung meningkat eskalasinya saat ini terjadi di Kab. Buol, Sulawesi Tengah. Konflik ini melibatkan Koperasi Petani Plasma dengan PT. Hardaya Inti Plantations (PT. HIP). Telah banyak upaya yang ditempuh masyarakat untuk menuntut hak mereka agar terpenuhi.
Sejak tanggal 08 Januari 2024 hingga saat ini petani pemilik lahan plasma melakukan aksi penghentian sementara operasional kebun plasma yang bermitra dengan perusahaan sawit, PT. HIP di lima desa. Atas tindakan tersebut terdapat sejumlah respon yang diberikan oleh pihak perusahaan, diantaranya upaya intimidasi dengan pengerahan aparat berlebihan hingga ancaman kriminalisasi terhadap petani. Terkini, telah terjadi konflik horizontal yang melibatkan para petani plasma dengan kelompok orang yang mengaku sebagai buruh PT. HIP dan dibantu puluhan security PT. HIP. Hal ini dipicu oleh upaya panen hingga pengangkutan paksa TBS dari kebun plasma milik masyarakat ke pabrik pengolahan sawit milik PT. HIP. Atas insiden ini mengakibatkan terjadinya kekerasan, cedera serta luka-luka yang menimpa petani plasma hingga pihak buruh perusahaan.
Fatrisia Ain, Perwakilan dari Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan bahwa, “Petani plasma yang terikat kerjasama dalam skema inti-plasma dengan PT. HIP selama ini tidak mendapatkan bagi hasil yang adil, reguler dan, berkesinambungan dari perusahaan. Petani terus melakukan perjuangan dan melakukan berbagai upaya, namun tidak juga membuahkan hasil yang memuaskan. Perusahaan tetap mengabaikan kami, dan pemerintah juga melakukan pembiaran atas ketidak-adilan kerjasama yang dijalankan oleh perusahaan terhadap petani. Perusahaan bahkan tidak membuka ruang perundingan secara adil dan terbuka ataupun musyawarah-musyawarah lainnya dengan petani plasma. Karena itulah petani plasma di 5 Desa kemudian memutuskan untuk melakukan penghentian sementara operasional kebun plasma sejak 8 Januari 2024 hingga saat ini, guna menuntut PT. HIP untuk memenuhi hak petani atas bagi hasil dan untuk menuntut perundingan yang adil dan musyawarah-musyawarah yang terbuka dengan petani plasma”.
Fatrisia menambahkan, Tanpa membuka ruang musyawarah untuk memecahkan masalah secara baik dan saling menguntungkan, perusahaan justru melakukan upaya buka paksa hingga melibatakan aparat Brimob, khususnya di kebun plasma di desa Balau (lokasi kebun koperasi Awal baru) upaya ini berulang kali dilakukan oleh perusahaan, puncaknya pada panen dan pengangkutan paksa yang dilakukan pihak perusahaan pada tanggal 7 dan 10 Mei 2024, yang akhirnya berujung bentrok antara pihak petani dan pihak buruh.
Pernyataan tersebut disampaikan Fatrisia dalam Konferensi Pers, yang dilaksanakan secara virtual melalui Zoom dan Youtube, dengan thema “Konflik Kemitraan di PT. HIP, Kab. Buol, Berujung Penganiayaan Petani Plasma” pada Selasa, 14 Mei 2024. Konferensi ini dilakukan dalam rangka merespon memanasnya kondisi yang terjadi di lapangan akhir-akhir ini.
Pada momentum yang sama, Budianto Eldist Daud Tamin, SH dari LBH Buol Pogogul Justice mengatakan bahwa: LBH Buol Pogogul Justice mulai melakukan pendampingan terhadap petani plasma, sejak tahun 2018. Sepanjang pengetahuan kami, selama ini mayoritas petani tidak mendapatkan bagi hasil dari setiap penjualan TBS yang dihasilkan dari lahan plasma, terutama sejak tahun 2018. Sebelum tahun 2018, memang ada beberapa petani dan koperasi yang mendapatkan bagi hasil, namun tidak semuanya. Adapun petani dan koperasi yang menerima bagi hasil, dilakukan tanpa administrasi yang baik, sehingga tidak jelas siapa saja yang sudah mendapatkan dan siapa yang tidak, serta berapa besaran bagi hasil yang diterima masing-masing.
Budi juga menguraikan 3 (tiga) indikasi permasalahan yang ditemukan dalam legal opininya, yaitu: Pertama, Berdasarkan Dokumen Laporan Perhitungan TBS yang dimiliki oleh Masyarakat, Terdapat beban biaya operasional yang sangat besar dan kami nilai tidak wajar, sehingga perlu dilakukan tindakan audit. Kedua, Terdapat beban menegement Fee yang dilimpahkan sebagai komponen biaya yang membebani penerimaan masyarakat dan perlu untuk diselidiki. Ketiga, Terdapat steatment hutang investasi yang ada dalam notulensi rapat dan perhitungan laba-rugi yang menimbulkan steatment hutang yang luar biasa besarnya, sehingga sangat membebani masyarakat anggota Koperasi. Kami menilai dengan dokumen bukti yang ada disetiap laporan perhitungan TBS sebelum tahun 2018, biaya langsung dan tidak langsung telah dimasukkan dalam setiap penjualan TBS, dan kami mendapatkan fakta bahwa dalam Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) tidak mengatur atau tidak ada satu klausul yang menyebut adanya tambahan Hutang Investasi selain Hutang Bank dan Dana Talangan.
Ditempat yang sama, Munawir Ladua, SH dari LBH Sulawesi Tengah Cab. Buol, yang juga merupakan salah satu tim kuasa hukum petani plasma mengatakan bahwa, Peristiwa bentrokan antara petani plasma dengan buruh kebun pada tanggal 7 dan 10 Mei lalu, bukanlah sesuatu yang direncanakan, hal tersebut terjadi sebagai upaya perlindungan diri dan keluarga oleh salah satu petani plasma. Kami akan terus mendampingi petani plasma dalam kasus ini hingga tuntas.
Moh. Ali, Ketua Umum Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyampaikan bahwa, memang bukan kali ini saja PT. HIP bermasalah dan terus merugikan petani dan masyarakat sekitar HGU perusahaan PT. HIP. Kami dari Pimpinan Pusat AGRA sudah melakukan komunikasi dengan buyer, yakni perusahaan-perusahaan yang membeli olehan sawit PT. HIP. Salah satunya adalah PT. Wilmar yang merupakan salah satu buyer PT. HIP dan merupakan anggota RSPO. Selain itu kami masih akan melakukan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan buyer lainnya.
Karenanya, atas seluruh rentetan peristiwa yang terjadi selama ini, khususnya yang dihadapi oleh petani plasma, PT. HIP adalah pihak yang paling bertanggungjawab. Begitu pula pemerintah yang selama ini cenderung abai atas kemitraan yang merugikan petani selama ini. Tindakan abai pemerintah, serta tindakan anti kritik dan perlakuan tidak adil PT. HIP adalah akar dari masalah yang terjadi baru-baru ini antara petani plasma dan buruh Perkebunan.
*********
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi:
Fatrisia Ain (FPPBuol) : 0822-8801-5564 / fatrisiaain@proton.com
M. Ali (PP Aliansi Gerakan Reforma Agraria) : aliagra@gmail.com
Achmad Surambo (Sawit Watch) : rambo@sawitwatch.or.id









