Di bawah langit Jakarta yang mendung, di tengah lautan manusia yang bersuara, Affan Kurniawan meninggal. Ia bukan hanya nama, tapi cerita sedih yang menyakitkan hati. Ia tewas, bukan karena kecelakaan biasa, tapi dilindas oleh mobil baja yang kebal hukum, kendaraan yang seharusnya melindungi justru menindasnya.
Kematiannya bukan sekadar berita. Ini adalah bukti nyata bahwa di balik kekuasaan, ada nyawa rakyat kecil yang dianggap tidak ada harganya. Di bodi mobil barakuda, tak ada lagi simbol pelindung. Yang ada hanyalah besi dingin yang melindas dan tubuh yang hancur, sementara teriakan protes yang dibungkam menjadi nyanyian perlawanan. Lebih dari 400 peserta aksi dikabarkan ditangkap, dipukuli, dan disiksa dalam tahanan. Ini jelas teror dari negara untuk membungkam suara rakyat yang kritis.
Kini, darahnya membasahi tanah di depan gedung DPR. Darah yang menuntut pertanggungjawaban, bukan cuma janji kosong. Di setiap tangisan dan langkah demonstran, Affan hidup kembali. Ia menjadi api di hati setiap buruh, petani, dan mahasiswa yang muak dengan penindasan.
Mari kita bersatu. Mari kita bangkit. Kita tahu, dari satu nyawa yang hilang, seribu perlawanan baru akan muncul. Keadilan untuk Affan Kurniawan bukan hanya slogan, tapi janji yang harus kita tunaikan bersama. Mari kita robohkan kekuasaan yang kejam, mari kita putus lingkaran hukum yang sudah lama menindas. Persatuan ini adalah satu-satunya cara kita melawan penindasan. Mari kita suarakan “Satu terbunuh, seribu menyerbu!” dan “Keadilan untuk Affan Kurniawan!” sebagai simbol perlawanan dan persatuan kita yang menuntut keadilan.
Penulis: Muhammad Radiansyah (Pengurus PC. KPM-PM Cab. Polewali)
Editor: M Yusrifar









